Langsung ke konten utama

Pedesaan : Ingatan dan Pengetahuan




Woko Utoro

Apa yang ada dibenak kita jika mendengar kata desa. Tentu akan sangat beragam jika hal itu ditanyakan kepada setiap orang. Bisa saja desa atau pedesaan adalah sebuah wilayah yang dihuni oleh orang-orang dengan mayoritas berprofesi sebagai petani. Atau bisa juga desa adalah tempat di mana panorama alam begitu asri. Atau sangat mungkin bahwa desa adalah peradaban terpencil di luar jangkauan perkotaan.

Semua hal tersebut bisa jadi benar sekaligus bisa saja salah. Paradoks mengartikan desa dewasa ini memang lebih dimungkinkan. Pasalnya desa sudah tidak seperti dulu. Desa sudah banyak yang berubah. Dari segi infrastruktur desa lebih cepat bersolek. Walaupun di beberapa wilayah terjadi keterlambatan pembangunan. Tapi yang jelas satu hal yang tak berubah dari desa adalah "kenangannya". Sekalipun seseorang pergi jauh mereka akan kembali ke rahim desa. Di Indonesia tradisi menuai rindu kampung halaman disebut mudik.

Ingatan tentang desa tentu akan sangat kaya. Misbahus Surur dalam Kronik Pedalaman (2020) menyebutkan bahwa desa musykil untuk dilupakan. Bukankah jika tidak ada desa tidak ada kota. Bahkan dalam esainya, Emha Ainun Najib menyebut jika negara berasal dari desaku. Demikianlah desa di mana orang-orang pernah diasuh oleh keadaan yang sederhana. Kecuali orang kota yang sejak lahir menghirup polusi udara tak akan bisa merasakan pedesaan kecuali di saat liburan tiba. Desa mawa cara, negara mawa tata begitu pepatah berbunyi untuk menggambarkan bahwa wilayah tersebut memiliki tradisi dan adat istiadat tersendiri yang harus dipahami.

Lantas apakah desa berkaitan dengan sawah atau laut. Apakah desa hanya berkonotasi pada sifat udik penghuninya atau sekadar bentang alam nan asri. Jika hal itu tersemat pada desa tentu modernisme dan globalisasi adalah mahluk yang jahat. Mahluk yang cepat merenggut keperawanan desa. Desa mengalami penuaan dini karena dipaksa merubah wajah aslinya. Desa dipaksa untuk mengkotakan diri dengan segala fasilitasnya seperti listrik, jaringan internet, hingga aspal mulus, kendaraan dan rumah mewah.

Tapi apakah lewat segala fasilitas tersebut desa telah hilang. Ataukah sudah tidak disebut desa. Entahlah. Yang jelas desa tetaplah desa. Sampai kapanpun desa adalah sebuah tempat di mana anak cucu dilahirkan dari nenek moyangnya. Bahkan kota Metropolis di Athena pun dulunya tetap disebut desa. Atau peradaban kuno di tepi Sungai Nil Mesir dan Sungai Gangga di India dulunya juga disebut desa.

Desa memang selalu menyuguhkan kenangan akan keindahan. Desa tak pernah lekang oleh waktu. Desa selalu lebih tua dari penghuninya. Desa adalah rahim di mana kita terlahir di sana. Bahkan kenangan dan alam desa selalu membawa ketenangan. Istilahnya desa sebagai sarana penyembuhan jiwa. Bisa dibaca lewat artikel berikut : http://wokolicious.blogspot.com/2020/12/desa-sebagai-sarana-penyembuhan-jiwa.html?m=1

Desa juga memiliki kearifan dalam beragam hal. Misalnya kearifan bagaimana merawat alam, menghargai budaya, menjaga tradisi hingga harmonis dengan agama. Kearifan lokal atau local wisdom itulah yang menjadi modal kekayaan bahkan tidak dijumpai di tempat manapun. Desa memang selalu menjadi guru atas kita yang seharusnya haus akan pembelajaran. Tentu ke depannya desa akan berada dalam cengkeraman pembangunan. Yang dalam bahasa Emha Ainun Najib desa selalu dalam bahaya di saat industrialisasi justru memudarkan falsafah hidup masyarakat.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/1/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...