Langsung ke konten utama

Jualan Opak Untuk Menyambung Hidup




Woko Utoro

Sore itu saya bertemu mbah sepuh di Masjid At Taqwa Kepatihan. Setelah saya lihat dengan saksama ternyata beliau berjualan opak Sermier yang bahan utamanya singkong. Singkat kisah sebelum kami berpisah saya membeli opak Sermier beliau 3 buah dengan harga 10 ribu. Sejak melihat sepedanya parkir dan membawa dagangan tersebut saya memang berniat membelinya.

Sebelum kami bertemu dan berpisah saya melihat betapa khususnya Simbah ketika berdoa. Pada sholat ashar ketika jamaah lain berhamburan beliau masih menengadahkan tangannya. Sepertinya beliau berdoa berharap jualannya ada yang membeli. Mungkin saja doanya diijabah dan saya salah seorang yang beruntung bisa digerakkan oleh Allah membantu beliau membeli opak Sermier tersebut.

Ketika opaknya terjual, Simbah begitu sumringah. Ia begitu senang bercampur haru. Dengan nada bicara yang lirih seraya mengucap syukur tak terhingga. Saya tentu memahami psikologis Simbah yang telah berjuang sejak pagi menjajakan barang dagangannya. Usut punya usut ternyata beliau berjualan di lampu merah (Bangjo) BTA atau juga di perempatan Prayit. Beliau berasal dari Pinggirsari Ngantru atau sebelum timur jembatan Ngujang 1. Beliau berjualan dengan sepeda ontel tua. Sedangkan opak Sermier tersebut beliau ambil dari home industri sekitar rumah.

Sebelum berpisah saya berbincang ringan dengan beliau. Setelah itu saya salami beliau dan kita pun berpisah dalam doa-doa kebaikan. Tentu saya berpikir sejenak, mengambil nafas seraya bersyukur ternyata kita masih beruntung. Faktanya masih banyak di luaran sana orang sesepuh itu berjuang untuk menyambung hidup. Menolak menyerah pada keadaan barangkali merupakan kata yang tepat untuk kegigihan Simbah. Walaupun kita tahu hasilnya tidak seberapa yang jelas beliau pantang untuk meminta-minta.

Jika dilihat dari kondisi tersebut tentu malu rasanya kita yang muda masih berleha-leha. Sedangkan banyak orang tua yang masih berjuang di usia senjanya. Ada dua analisis mengenai hal tersebut, pertama bisa jadi orang sepuh masih bekerja karena mereka kecewa saat mudanya tidak digunakan waktunya dengan baik. Kedua, bisa jadi karena kondisi hidup yang memang mengharuskan demikian. Saya tentu berhusnudzon saja bahwa semua hal dalam hidup telah memiliki porsinya tersendiri. Termasuk Simbah yang masih terus berjuang agar dapur tetap mengepul.

Kisah serupa tentu tidak hanya satu tapi masih sering kita jumpai di sudut-sudut kehidupan. Saya juga sering menjumpai ada Mbah-mbah yang bungkuk tapi masih berjalan menyusuri sepanjang jalan untuk mencari barang bekas (rongsokan). Ada juga Mbah-mbah berjalan dengan terpapah menjajakan mainan anak-anak dari satu tempat ke tempat lain. Semua mereka lakukan tak lain karena hidup sak derma nglakoni. Intinya hidup itu berusaha dan ada sesuatu yang diusahakan.

Hidup jangan berdiam diri seraya mengharap pemberian orang lain. Tugas kita hanyalah berikhtiar sedangkan hasil diserahkan pada Tuhan. Tentu kisah Simbah tersebut akan menjadi pelajaran bagi kita untuk terus bersyukur, ikhlas dan tabah dalam menjalani setiap segmen kehidupan. Terpenting jangan putus asa dan jangan terputus dari rahmat Allah SWT. Allah selalu memberikan jalan bagi hambanya yang mau berusaha.[]

the woks institute l rumah peradaban 26/1/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...