Langsung ke konten utama

Obituari : Ustadz Ni'am Sang Ahlul Qur'an




Woko Utoro

Bagi yang kenal Ustadz Minhajun Ni'am tentu akan sangat tahu bagaimana pribadinya. Saya mungkin tidak seberuntung orang terdekatnya. Akan tetapi ketika mendengar kabar bahwa beliau wafat tepat hari Ahad 21 Januari 2024/9 Rajab 1445 H sontak langsung terkaget. Badannya saya langsung lemas karena walaupun begitu ada beberapa hal yang pelajari dari sosok ahlu Qur'an tersebut.

Yang saya ketahui Ustadz Ni'am lahir di Gresik Jawa Timur. Singkat kisah beliau mondok tahun 1994 di Nurul Haromain Pujon Malang asuhan Syeikh KH Ihya Ulumiddin atau Abi Ihya. Ketika mondok di sana Ustadz Ni'am memang sudah memiliki tanda-tanda keistimewaan. Selain hafal al Qur'an beliau juga begitu murah senyum, tegap dan tegas. Soal ini saya menyaksikan ketika beliau memberikan pembinaan tahfidz di lembaga Al Azhaar Tulungagung.

Singkat kisah beliau bersama istrinya, Ustadzah Lia dikaruniai 3 orang putra. Belum genap satu tahun atau sekitar Agustus 2023 istri beliau berpulang ketika di pengajian. Kini di bulan Januari 2024 Ustadz Ni'am menyusul istrinya karena terlibat kecelakaan di daerah Ngantang. Sungguh sebuah tragedi yang tentunya telah ditakdirkan oleh Allah SWT.

Saya tentu saksi betapa Ustadz Ni'am adalah sosok yang luar biasa. Beliau benar-benar mengikuti manhaj gurunya. Dalam setiap gerak-geriknya semua bernafas lafal Allah. Dulu saya ingat ketika perjalanan ke pantai beliau mengajarkan pada kita untuk melafalkan kalimat thayyibah. Selain itu beliau juga aktif mengisi kajian baik kitab maupun undangan ceramah warga. Terakhir beliau mengisi kajian rutin Reboan dengan tajuk Juragan Ngaji. Kitab yang dikaji yaitu Ta'lim Mutaalim dan Kaifatu Shali.

Kini pengasuh Ma'had Ibnu Mas'ud (MIM) Tulungagung tersebut berpulang. Banyak orang kehilangan dan mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Beliau dimakamkan di samping makam istrinya tepat di areal pondok MIM. Semoga segala uswah beliau menjadi jariyah tak pernah putus. Selamat jalan Ustadz, mugi husnul khatimah al fatihah.[]

the woks institute l rumah peradaban 22/1/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...