Langsung ke konten utama

Catatan Seminar Literasi Digital bersama Kominfo




Woko Utoro

Senang rasanya saya secara pribadi bisa terlibat dalam acara seminar literasi digital. Acara yang sebenarnya diinisiasi oleh Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) serta bekerjasama dengan Kominfo RI. Kebetulan Kominfo memiliki gerakan nasional literasi digital hingga ke akar rumput. Acara ini diselenggarakan di aula MWC NU Boyolangu yang dihadiri tidak kurang dari 200 peserta.

Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari masyarakat penyelenggara pemilu Kecamatan Boyolangu. Mereka hadir dari beragam unsur dari masing-masing desa seperti Ngranti, Kendalbulur, Bono, Wajak, Kepuh, Beji, Gedangsewu, Moyoketen dll. Acara ini bertemakan : "Mencari Kebenaran, Literasi Digital Sebagai Pondasi Pemilu yang Damai" serta dipandu oleh moderator Mas Khoirul Fata dan narasumber para praktisi digital Tulungagung Mak Masruroh S. Ag dan Mas Woko Utoro M. Ag serta Kominfo Pusat Mas M. Hasyim Habibil Mustofa.

Acara ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dari bahaya polarisasi menjelang pemilu 14 Februari 2024. Kita tentu tahu dampak pemilu tahun 2019 melahirkan sumbu panas yang masih terasa hingga kini. Salah satu akarnya bersumber dari penggunaan media sosial yang tak terkendali. Tidak hanya di tingkat elit di kalangan alit pun masyarakat ikut terkena imbasnya. Maka dari itu pembekalan literasi digital sangatlah penting.

Pada acara yang berlangsung sore itu saya bertugas pertama membawakan materi berupa "Literasi Digital sebagai Upaya Menjaga Stabilitas". Di momen itu saya menjelaskan bahwa literasi digital adalah sebuah kecakapan untuk mengoperasikan produk digital utamanya smartphone dengan bijak. Di sanalah saya menjelaskan indikator dasar dari 4 elemen literasi digital Kominfo. Elemen tersebut terdiri dari: Cakap digital, etika digital, keamanan digital dan budaya digital.

Pada kesempatan yang sama Mba Ruroh juga menjelaskan bahwa literasi digital begitu penting karena hampir segala macam informasi menyebar ke setiap platform media di gadget kita. Oleh karena itu melek, sadar dan bijak adalah kunci untuk membentengi diri dari cyber crime atau kejahatan media siber. Pembicara pamungkas yaitu Mas Hasyim, beliau menjelaskan sejarah mengapa digitalisasi lahir di dunia.

Kata Mas Hasyim digitalisasi lahir akibat revolusi industri. Di mana dulu abad ke-19 saat dunia dikerjakan oleh tenaga manusia mka ditemukanlah mesin uap. Lalu setelah itu ditemukan listrik, komputer hingga kombinasi komputer dan internet. Di era akhir inilah sebab internet kini dunia berubah begitu cepat. Kecepatan dan perubahan itulah yang kini kita kenal akibat produk teknologi dan temuannya. Kita tidak terasa sedang berpacu dengan kecanggihan dan menuntut adaptif secepat mungkin.

Terutama di tahun politik tentu teknologi turut merubah keadaan di masyarakat. Terlebih soal informasi, data dan suhu politik pastinya akan ada lebih banyak lagi yang mesti harus kita pelajari. Jangan sampai akibat media sosial kita justru terurai. Maka dari itu menjadi pemilih cerdas dengan menerapkan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai seperti toleransi, saling menghormati, tanggungjawab dan kejujuran menjadi hal yang perlu ditanamkan sejak dini. Berbeda pilihan adalah sebuah keniscayaan akan tetapi semangat persatuan harus tetap dipupuk dengan baik.

Demikian sekilas mengenai acara seminar literasi digital. Walaupun dalam keadaan hujan peserta nampak antusias. Hal itu dibuktikan dengan adanya beberapa pertanyaan. Kebetulan yang bertanya mendapatkan hadiah voucher belanja serta bagi yang lainnya mendapatkan snack, makan dan tas cantik dari Kominfo. Salam damai dan jadilah pemilih cerdas.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/1/24


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...