Langsung ke konten utama

Mata Yang Enak Dipandang: Sebuah Catatan di Kereta Api




Woko Utoro


Tulisan ini terinspirasi dari cerpen Ahmad Tohari dengan judul yang sama. Ini barangkali menjadi kisah bisu saya selama di kereta. Setelah pada perjalanan mudik kemarin mendapatkan teman duduk yang asyik justru perjalanan kembali ke Tulungagung ini sebaliknya. Di sini saya menjadi patung beku atas apa yang sebenarnya tidak diharapkan. Barangkali kisah saya ini sama halnya dengan penumpang lain yang serupa.


Perjalanan kali ini saya menggunakan armada kereta api Majapahit. Nama kereta yang sebenarnya asing di telinga, namun apa daya saya harus mengikuti pola ini yang sudah terlanjur menjadi bubur. Ketika di perjalanan awal saya mungkin enjoy karena di depan tempat duduk ada gadis manis dengan mata yang enak dipandang. Atau kita ingat ada judul novel bidadari bermata bening. Tapi setelahnya saya justru terdiam karena kondisi kembali berbeda.


Singkat kisah di perjalanan pertengahan yaitu sekitar Semarang tempat duduk saya harus geser akibat ada tiga perempuan yang mengapit. Sebenarnya di posisi ini saya sangat tidak nyaman. Jika saya tanya mba sebelah saya mengapa berada di tempat kursi 8B ternyata jawabanya karena di tempat aslinya 12A didominasi kaum adam. Di posisi seperti inilah yang kadangkala terasa serba salah. Baik menjadi perempuan atau laki-laki kita harus pintar-pintar bersikap.


Saya yakin di tempat manapun kenyataan adalah hal utama. Jangankan dulu saat moda transportasi masih semrawut sekarang saja yang sudah tertata rapi kejadian seperti pelecehan dll masih sering dijumpai. Seperti kata Bang Napi semua terjadi karena ada niat dan kesempatan dari pelakunya. Cuma sayangnya jika hal itu terjadi biasanya hanya pada perempuan dan laki-laki jarang ditemukan. Tapi sebenarnya keduanya memiliki potensi yang sama terkena kasus tersebut.


Yang menarik dari semua itu adalah keberadaan masker. Karena maskerlah bola mata begitu nampak indah. Secara jujur saya sebagai lelaki tentu tertarik dengan perempuan yang wajahnya ditutupi masker. Mungkin itu juga berlaku pada perempuan terhadap lawan jenisnya. Karena bagaimana pun juga hal itu terjadi pada seorang wali yang menginginkan bola mata indah dari seorang gadis. Singkat cerita sebelum menjadi wali ia membuntuti gadis dengan wajah berniqab hingga sampai depan rumahnya.


Setelah tahu ada yang mengikuti maka gadis itu bertanya, "Apa yang tuan inginkan dariku?". Tanpa basa-basi seseorang tersebut menjawab, "Bola mata mu sungguh indah. Tak ada keinginan yang ku inginkan selain bola mata anda nona". Tak lama akhirnya gadis itu mencongkel bola matanya, "Inilah bola mata yang kau inginkan tuan". Sambil gemetar lelaki itu menangis tersedu-sedu dan tak sepantasnya ia berkehendak demikian. Akhirnya dalam kisah tersebut mereka diangkat menjadi wali. Sang sufi perempuan mendapat maqam ridha sedangkan lelaki tersebut taubatnya diterima.


Begitulah kiranya, kadang mata mudah mengecoh. Memang apa yang dilihat mudah mengelabui. Sedangkan apa yang diketahui lewat hati selalu lebih objektif. Maka dari itu cintailah sesuatu bukan karena materi semata melainkan aspek substansi. Hidup yang hanya bersandar pada aspek fisik mudah kecewa. Tapi bagaimanapun juga mata memang selalu enak di pandang apalagi pada gadis yang belum dikenal.[]


the woks institute l rumah peradaban 8/1/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...