Langsung ke konten utama

Dengan Membaca Kita Banyak Ilmu





Woko Utoro

Kita tahu dampak membaca itu luar biasa. Semakin banyak membaca semakin kaya pula akan bahasa dan pengetahuan. Membaca dibagi dua yaitu membaca teks dan membaca konteks. Orang yang menyelami teks akan tahu tentang banyak hal. Karena bacaan sebenarnya bukan soal teks tapi daya rohani. Sedangkan membaca konteks adalah melihat peluang dari setiap perubahan dunia. Membaca konteks akan selalu dimulai dari membaca teks.

Para pegiat literasi selalu mengkampanyekan arti penting membaca. Terutama soal literasi dasar awalnya berjuang mengentaskan buta aksara. Hingga akhirnya kini orang sudah merangkak mengenali aksara. Secara bertahap kini masyarakat telah melek huruf dengan berbagai tingkatan. Ignas Kleden dalam Alfons Taryadi (1999) menyebutkan bahwa melek huruf ada 3 kategori: teknis, fungsional dan budaya.

Teknis berarti masyarakat baru di level membaca untuk mengenali sesuatu. Sedangkan fungsional bacaan sudah merambah ke melakukan sesuatu. Terakhir jika bacaan sudah di level membudaya itu tandanya masyarakat berbudaya. Masyarakat yang memposisikan pengetahuan, etika dan nilai-nilai agama sebagai pondasi berpikir dan bertindak. Maka dari itu membaca tidak hanya sekadar menambah pengetahuan tapi merubah kelakuan.

Tidak salah jika agama Islam dibangun atas dasar membaca. Karena membaca akan selalu menghargai semangat keilmuan, pembelajaran dan penghormatan. Orang yang suka membaca setidaknya akan terhindar dari tipudaya. Termasuk bacaan tertinggi adalah kitab suci. Sebuah buku bacaan yang langsung diturunkan oleh Tuhan melalui malaikat Jibril. Maka dari itu bacalah lalu bersama sebut nama-Nya yang telah menciptakan. Dia akan mengajari mu akan arti pengetahuan (qalam).[]

the woks institute l rumah peradaban 21/1/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...