Langsung ke konten utama

Perkotaan : Ingatan dan Perubahan


Sumber gambar : adieast_production


Woko Utoro

Membaca kota tidak semudah mengeja desa dengan segala kesederhanaannya. Kota lebih kompleks. Kota bahkan indah atau lebih tepatnya gemerlap. Jika dirumuskan beberapa kata, maka kota adalah perubahan dan gedung-gedung pencakar langit. Kota adalah kemajuan serta citra peradaban.

Isnan Waluyo dalam artikelnya Bagaimana Sastrawan Membaca Kota (2023) menuliskan sederet nama beken untuk membaca kota. Misalnya menurut Goenawan Mohamad kota dicitrakan sebagai "jarak". Karena bagi GM jarak adalah kata untuk menunjukkan bahwa ia tidak terlibat dalam hiruk-pikuk atau riuhnya kota. Berbeda dengan Chairil Anwar lewat puisinya ia membaca kota sebagai basis kreatif sekaligus latar penceritaan.

Berbeda dengan dua tokoh berikutnya yang membaca kota dari sisi negatif. Misalnya Charles Baudelaire membaca kota dengan tradisi kencan, pelacur dan kesepian. Ia melihat begitu dekat sisi gelap kaum urban sejak Abad 19. Begitu pula Albert Camus yang membaca kota tentang makan, bercinta, mati. Di sana orang kota hidup sejak matahari terbit hingga terbenam seperti dalam sangkar pengulangan. Bahkan hingga mati.

Begitulah kota dan kita orang desa selalu berharap kesejahteraan lahir dari sana. Maka tidak salah jika WS Rendra menyebut banyak di antara kita ingin menjadi layang-layang di ibu kota. Semua harapan tak lain karena prestise pekerjaan, status dan gaji tinggi. Tapi semua itu tidak dibayar secara gratis. Di kota semua bayar sampai buang air kecil pun bernilai di sana. Kota memang keras dan selalu tidak ramah bagi mereka yang manja.

Kota selalu mewadahi mereka yang pekerja keras. Bahkan idiom yang cari haram saja susah apalagi yang halal begitu mahsur di kota. Kota mengajari kita hidup seperti robot. Atau hidup yang penuh kalkulatif. Hidup yang diukur berdasarkan angka, materi dan prasangka sosial. Citra akan glamor dan hedon menjadi tak terpisahkan dari kota. Hingga kita berpikir apakah tidak ada keramahan di kota. Tempat di mana orang-orang jujur berteduh. Atau wadah bagi orang-orang yang memperjuangkan keadilan.

Kota memang sejak dulu mudah berubah. Atau lebih tepatnya desa yang bersolek karena modernisasi. Selain gedung bertingkat, pusat industri, dinas perkotaan hingga hidup nan perlente kota juga selalu menyisakan bahagia dan luka. Tidak semua orang kaya hidup di kota dengan kamar-kamar hotel nan mewah. Di sana juga hidup orang-orang miskin, papa dan terpinggirkan. Mereka nyaman hidup di bantaran sungai dengan segala kekumuhan. Kota memang begitu lengkap utamanya menggusur kenangan dan ingatan. Kota adalah perubahan.[]

the woks institute l rumah peradaban 7/1/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...