Langsung ke konten utama

Masih Adakah Angin di Tulungagung

Woko Utoro 

Judul tulisan kecil ini mengingatkan pada puisi Umbu Landu Paranggi yang digubah menjadi syair lagu oleh Mbah Nun dengan judul yang sama, "Apakah ada angin di Jakarta". Pertanyaan apakah ada angin di Jakarta juga dapat diterapkan di Tulungagung. Tentu sangat relevan dan pertanyaan itu bukan tentang climate change alias perubahan suhu akibat iklim global. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan tradisi dan budaya di kota ini yang telah berkembang lama. Masihkah bertahan di tengah arus deras perubahan.

Sebagai perantau yang masuk ke Tulungagung sejak tahun 2015 tentu saya lumayan paham bagaimana saat dulu dan hari ini. Tentu saja kita semua merasakan hal apa saja yang sudah berubah dari kota di selatan Jawa ini. Dari segi infrastruktur mungkin yang paling terasa perubahannya. Dulu sekitar kampus UIN SATU rerimbunan tebu masih begitu hijau atau juga beberapa pohon perdu menjalar menghidupi hewan ternak. Tapi kini suasana itu sudah ditelan oleh ragam pembangunan. Belum lagi misalnya di Kepatihan, beragam coffe shop berjejer rapi melupakan nuansa batin tempo dulu.

Kita baru bicara dua tempat mungkin di wilayah lain perubahan terasa begitu cepat. Apalagi jika kita bicara perputaran ekonomi, politik dan kepentingan bisa jadi di sana-sini perubahan tak terbantahkan. Tapi walaupun begitu yang saya salut dari Bumi Gayatri ini sejak dulu hingga kini suasana keagamaan dan kehangatannya masih bertahan. Walaupun mungkin entah beberapa tahun ke depan suasana itu mulai luntur. Setidaknya di sudut-sudut kota, di gang-gang sempit hingga pelosok desa masih ada sekumpulan pemuda dan beberapa orang tua menolak menyerah. Mereka diam-diam terus mempertahankan budaya luhur sesepuh untuk tidak segera pudar. Mereka dengan sisa-sisa tenaganya mencoba melestarikan budaya dari hulu ke hilir.

Itulah yang barangkali selalu saya cemaskan dari kota ini. Kota yang ternyata sudah 820 tahun berdiri berdasarkan Prasasti Lawadan bukan waktu yang singkat pastinya. Jangan sampai karena arus globalisasi kota ini lupa diri. Jangan sampai atas nama modernisasi kota ini melupakan tradisi. Yang tak kalah pentingnya jangan sampai kota ini kehilangan kehangatan sebagaimana saat saya pertama miqat di sini. Karena apalah artinya kita ngopi setiap hari jika ternyata kita tak saling kenal. Apa jua maknanya kita diskusi tiap saat jika ternyata kita tak tegur sapa.?

Angin yang dimaksud dalam tulisan ini bukan angin dari selatan. Melainkan angin perubahan dari barat atau dari sudut manapun. Angin yang memungkinkan kota ini lupa karena keheningan telah dibeli oleh modernisasi. Angin di mana setiap orang berisik di media sosial dan tumpul dalam kehidupan sosial. Justru di sinilah kita mengingatkan jika suatu hari hal itu terjadi maka masih adakah angi sejuk berhembus ke sudut kota.

Semoga saja kita kuat bertahan di tengah badai perubahan yang melenakan. Jangan sampai orang berhenti peduli terhadap kota ini. Jika hal itu terjadi lantas ke mana lagi kita merindu? bukankah saat-saat kehangatan tiba kita merasa bersama. Dan jangan sampai merasa asing di negeri yang dinggap rumah sendiri.[]

the woks institute l rumah peradaban 18/11/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...