Langsung ke konten utama

Islam yang Toleran?


Woks

Sebagai agama mayoritas, Islam memiliki zona yang luas untuk terus mengembangkan nilai-nilai keagamaanya. Islam yang sejatinya lahir di Mekah tentu pernah merasakan betapa kerasnya menjadi minoritas. Pada saat itu untuk berdakwah saja Nabi Muhammad saw masih belum berani terang-terangan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu sejarah telah membuktikan bahwa Islam kini menjelma menjadi salah satu agama besar dunia. Selain karena banyak pemeluknya Islam juga besar karena secara historis pernah melewati berbagai macam rintangan. Terutama dakwah periode Mekahlah yang begitu terasa perjuanganya.

Kini Islam telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tentu di setiap wilayah memiliki tantangan tersendiri dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Salah satunya saat Islam masuk ke Indonesia yang mayoritas penduduknya pada saat itu sudah menganut agama-agama besar dunia seperti Hindu dan Budha serta sudah menganut aliran kepercayaan lokal setempat. Secara pendekatan Islam masuk ke wilayah Nusantara tentu berbeda dengan Islam yang masuk di jazirah Arab. Islam masuk di Nusantara tentu sangat komplek sehingga membutuhkan dakwah kreatif yang dapat diterima masyarakat tanpa pertumpahan darah. Singkat cerita Islam membumi di tanah Nusantara melalui berbagai media seperti perdagangan, perkawinan, kesenian, dan ajaran ke-sufian.

Tantangan dunia baru selalu dihadapkan dengan Islam sebagai agama pendatang khususnya di daerah Nusantara. Salah satu tantangannya yaitu bisa hidup rukun dengan pemeluk agama dan kepercayaan lain yang lebih lama mendiami wilayah ini. Para pemeluk agama diharapkan bisa saling asah-asih-asuh, saling menghormati satu sama lain dan saling menjaga. Nilai dan sikap toleran harus dibangun dalam mewujudkan kedamaian sebagai sesama manusia yang meyakini keberadaan theis. Nilai toleransi inilah yang akan kita kupas dalam sebuah wadah pertanyaan apakah umat Islam sudah mengaplikasikan sikap toleran itu?

Beberapa kasus intoleransi terjadi di berbagai wilayah terutama bagian Indonesia timur. Di sana sangat rawan sekali tersulut api karena sumbu terlalu pendek. Potensi perpecahan atas nama agama sangat besar salah satu penyebabnya ialah karena belum saling memahaminya sikap toleran antar sesama pemeluk agama. Justu diberbagai wilayah toleransi disalahartikan menjadi sebuah pemahaman berdasar asas mayoritas. Sehingga siapa yang menang dialah yang berkuasa padahal toleransi adalah sikap saling menghormati dan memahami di atas sebuah hak.

Saya ingin berkomentar terkait Islam agama saya sendiri. Karena dibeberapa tempat saya menemukan orang-orang Islam yang kaku terhadap keislamannya. Mereka beragama secara egoistik dan penuh hawa nafsu. Islam mengenal shalat sebagai salah satu ajaran utamanya. Di dalam shalat tidak diajarkan hanya seremonial ritual belaka melainkan makna yang terkandung di dalamnya yaitu ajaran untuk bersikap adil terhadap sesama. Saya menemukan satu kasus di mana orang Islam mengumandangkan adzan dengan begitu keras saat beberapa komunitas Budha sedang melaksanakan puncak tridharma bakti. Dalam ritual itu umat Budha diminta untuk fokus, tenang dan penuh penghayatan akan tetapi karena ada suara adzan hal itu menjadi sedikit terganggu. Jika dilihat sekilas seolah-olah orang Islamlah yang tak bersikap toleran. Walaupun adzan adalah seruan memanggil orang untuk shalat akan tetapi apakah tidak mampu tanpa adzan dikumandangkan satu waktu saja. Padahal secara hukum adzan hukumnya sunnah apalagi dengan pengeras suara. Jika adzan sedemikian wajibnya maka secara umat Islam begitu pongah. Memaksakan sesuatu yang bukan perkara wajib. Lantas mengapa pula kita sering merasa terganggu jika umat dari agama lain merayakan ibadahnya dengan lantang. Mereka sebagai minoritas sudah sangat mau menghargai kita tapi kini malah sebaliknya. Seharusnya yang lebih menghormati itu adalah yang mayoritas.

Layaknya sebagai orang yang beragama kita tentu menakar ulang bagaimana cara kehidupan kita selama ini. Masihkah kita bisa menghormati orang lain layaknya menghormati diri kita sendiri. Sebagai manusia utuh maka perlu menanamkan sikap toleransi sejak dini. Minimal kita berupaya untuk menghargai perbedaan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...