Langsung ke konten utama

Menyulam Peradaban Kekancan Pasca Covid-19

        (sumber gambar :Panjoel Potret)

Woks

Tidak terasa sekarang kita hidup dalam kenyataan bahwa ramadhan kali ini terasa sangat berat. Di satu sisi menerima amanat untuk menjalankan serangkaian ibadah ramadhan seperti puasa, tarawih, dan zakat di sisi yang lain kita masih terus berjuang melawan Covid-19 yang masih mewabah. Sebenarnya sejak dulu kita sudah mengerti bahwa ritualitas puasa bukanlah suatu beban bahkan syariat sendiri telah memberi pilihan seperti orang tua renta, perempuan yang menyusui anaknya, musafir, orang hilang akal dan lainya boleh meninggalkan puasa atau lebih tepatnya ruhsoh (keringanan).

Selama ibadah puasa ini tentu rasa khawatir terkait penyebaran Covid-19 masih menghantui kita. Lebih lagi terkait longsoran ekonomi yang begitu terasa dalam kebutuhan sehari-hari. Harga-harga bahan makanan pokok sudah biasa naik saat ramadhan tiba sedangkan perusahaan tempat bekerja dihentikan sementara. Darisanalah hampir tiap hari kita mendengar keluhan. Seolah-olah dunia akan segera kiamat. Orang-orang seperti ini hanya sekedar menunggu datangnya keajaiban bahwa ramadhan bisa mengusir wabah ini. Kerelaan manusia dalam menghadapi musibah memang selalu dicoba. Jika semua hal dalam situasi ini dipandang negatif maka di mana sisi positif yang harus kita cari.

Walau dalam keadaan tertekan seperti sekarang ini masyarakat kita masih bisa mengalihkan isu Covid-19 dengan kegiatan lain sebagai penunjang bulan ramadhan. Kegiatan itu merupakan isi setiap tahun kita rasakan dalam satu bulan penuh berpuasa. Terutama kalangan santri yang tetap menyelenggarakan kegiatan pasan atau posonan. Pasan merupakan kegiatan mengaji kilat selama bulan puasa, jika dalam sekolah formal dikenal dengan istilah pesantren ramadhan. Kegiatan ini tetap berlangsung sampai akhir ramadhan dengan memanfaatkan media sosial. Masing-masing pengasuh, ustadz, kyai, tokoh agama bahkan budayawan memanfaatkan media sosial untuk menyelenggarakan kegiatan ngaji online. Tak kalah menariknya diskusi online dengan multitema pun berjamuran di berbagai medsos kita.

Bagi mereka yang minat akan kajian tersebut bisa sangat mudah mengikutinya itupun jika koneksi internet memadai. Jika tidak dengarkan saja di radio atau tayangan televisi. Saya melihat dengan adanya kegiatan live IG, ngaji online dan semacamnya seseorang dengan mudah memilih kajian mana yang akan diikuti. Karena setiap kajian dibuka untuk umum tanpa mengenal dari mana asalnya. Hal inilah yang menurut saya bisa membawa angin segar untuk orang lain dapat mengenal satu sama lain sebagai sesama jamaah. Yang pada akhirnya dari grup-grup kajian tersebut terjalin relasi sebagai sesama muslim yang sama-sama berpuasa dan merasakan dampak Covid-19 ini. Tentu masyarakat membutuhkan literasi bagaimana beribadah di tengah pandemi.

Melihat perkembangan media sosial selama ramadhan ini tentu sangat menggembirakan. Terutama kalangan Nahdliyyin yang dianggap tradisional justru malah semakin aktif dalam memanfaatkan media sosial. Tentu isinya beragam mulai dari tausiah menunggu berbuka, tanya jawab fikih, hingga ngajib kitab ala pesantren. Dengan demikian sebagai masyarakat tentu menyambut baik akan hal itu karena setidaknya ulama NU telah mampu merespon berkembangan jaman yang selama ini masih dikuasai oleh ahli agama berlabel instan. Selain itu adanya kajian tersebut sebagai salah satu upaya bahwa kita masih bisa produktif walau dalam lingkaran wabah yang kian hari terus melonjak drastis korbannya. Dari sini bisa dibangun kontranarasi untuk mensterilkan pikiran untuk tidak over panic dalam menghadapi Covid-19. Sehingga berita tidak hanya tentang Covid-19 terus akan tetapi ada sisi lain di balik musibah ini.

Beberapa pengamat menyatakan bahwa hal yang paling berat dari musibah ini yaitu soal kesenjangan sosial yang diprediksi terjadi pasca wabah usai. Tidak menunggu lama saat ini pun sudah terasa bahwa satu sama lain malah menaruh curiga, salaman, bersin, batuk menjadi hal yang harus diwaspadai, tradisi berkunjung dan silaturahmi ditiadakan sejenak, hingga jalanan masuk gang-gang semua diblokade. Melihat kenyataan itu hati merasa miris apakah kekhawatiran orang-orang telah menguasai pikiranya. Mengapa kini menjadi waspada berlebihan. Seolah egoistik menguasai hati untuk ingin menyelamatkan diri sendiri. Memberi edukasi adalah salah satu terapi sosial yang dibutuhkan masyarakat. Tujuannya tentu agar keadaan masyarakat tetap kondusif. Jika hal itu tidak diupayakan sejak dini maka hasilnya seperti yang telah kita saksikan dibeberapa daerah sempat ada aksi menolak jenazah yang terkena Covid-19 untuk di makamkan. Kejadian itu tentu bukan mencirikan manusia sebagai seorang yang saling memahami satu sama lainya. Melainkan sebuah kejadian akan kehilangan rasa prihatin sebagai sesama manusia.

Jangan sampai ciri khas masyarakat kita yang guyub rukun menjadi bubrah pasca Covid-19 ini. Jika di dunia maya mampu menjalin relasi pertemanan dengan baik tentu lebih baik lagi di dunia nyata yang secara realitas sangat dibutuhkan sebagai komponen utama bersosial. Semoga peninggalan grup-grup pertemanan di berbagai media sosial bisa menjadi jembatan untuk menjalin komunikasi yang baik antar sesama. Sebab kerukunan di Indonesia telah berkembang sejak lama. Jangan sampai persaudaraan sesama agama dan kemanusiaan diadu domba oleh pihak lain yang tak bertanggungjawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...