Langsung ke konten utama

Melacak Jejak Lambe Turah dalam Masyarakat


Woks

Anda mungkin tidak asing ketika mendengar istilah lambe turah atau orang yang suka nyinyir dan rasan-rasan alias bergosip. Nama lain dari lambe turah adalah netizen yang suka mengomentari apa saja. Apalagi sekarang semakin masifnya infotainment di media televisi dan media sosial yang berjamuran menambah terwadahinya aktivitas mereka.

Entah sejak kapan tradisi saling menggunjing itu lahir ke alam ini. Yang jelas tradisi membicarakan orang lain atau membicarakan objek yang tidak ada di tempat telah terjadi sejak dahulu kala. Pada saat itu Iblis desas-desus dengan kelompoknya mengapa Tuhan mengutuk mereka cuma karena tidak mau sujud hormat kepada Adam. Mereka lalu mendengar bahwa Adam memiliki kelemahan untuk tidak boleh memakan buah quldi. Kelemahan itulah yang dimanfaatkan Iblis untuk membohongi Adam. Akhirnya dalam sejarah Adam memakan buah itu yang membuat nya terusir dari surga karena bujuk rayu Iblis via Hawa.

Pada zaman Yunani era skolastik tradisi rasan-rasan malah justru berkembang. Di sana mereka membicarakan apa saja, apa saja mereka bicarakan khususnya tentang pengetahuan. Zaman itu halaqoh-halaqoh bertebaran di mana-mana dan yang dibicarakan bukan harga bawang brambang atau cabai tapi lebih kepada pikiran-pikiran yang mendobrak. Sehingga banyak para filsuf yang berpikir liar dari majelis-majelis itu. Rasan-rasan di sana telah menjadi alat komunikasi yang melahirkan peradaban lisan hingga ke tulisan.

Dulu pada zaman Majapahit rasan-rasan malah menjadi cara rahasia untuk menyampaikan pendapat agar tidak ketahuan musuh utamanya soal desas-desus tidak becusnya pemimpin yang memerintah saat itu. Tradisi rasan-rasan itu biasanya dilakukan para telik sandi untuk mengorganisir rakyat salah satunya perang dan gerakan kudeta. Lhaa tradisi sekarang rasan-rasan malah menjadi hal yang cenderung pada negatif yaitu membicarakan aib orang lain.

Di era pemerintahan otoritarian yaitu saat orde baru berkuasa jangankan diskusi, untuk sekedar rasan-rasan dan berkumpul beberapa orang saja pasti akan dicurigai sebagai gerakan yang mengkritik pemerintah. Sehingga jika kita ingat dulu banyak rakyat yang kena imbas dari kegiatan tersebut. Mulai dari tingkat bawah hingga elit bisa jadi sebagai target DPO bahkan tak tanggung-tanggung akan dijebloskan ke penjara atau lebih ekstrim lagi dihilangkan paksa.

Zaman semakin modern tentu corak rasan-rasan pun ikut berkembang termasuk topik rasan-rasan. Setidaknya ada 3 hierarki lambe turah yang perlu diketahui; pertama, kelas bawah biasanya oknum lambe turah tingkat ini terdiri dari ibu rumah tangga, bapak-bapak tukang ngopi, petani, nelayan, buruh dan pekerja di pasar. Topik yang dibicarakan biasanya tak jauh seputar kehidupan seperti harga pasar, skor pertandingan bola, keadaan tetangga hingga kebutuhan kosmetik dan kebutuhan anak.

Kedua, kelas menengah biasanya pelakunya ialah ibu-ibu majelis taklim, jamaah arisan, guru sekolah dasar hingga bapak-bapak paguyuban pedagang pasar di objek wisata. Topik yang dibicarakan sebenarnya tak jauh berbeda dengan kelas bawah akan tetapi pembicaraan mereka lebih kepada bagaimana mendapat rezeki, cari penghasilan lain, kerjasama usaha hingga berpikir soal melunasi kredit angsuran kendaraan atau kontrak perumahan.

Ketiga, levelnya sudah semakin tinggi. Biasanya tingkat ini dihuni oleh akademisi, para pejabat dan konglomerat. Topik rasan-rasannya sudah mulai berbobot seperti keilmuan, kebijakan politik hingga proyek dan keuntungan.

Seiring berjalannya waktu para lambe turah semakin digdaya karena ditunjang teknologi. Mereka semakin bertransformasi bahkan mereka tak pandang bulu melucuti setiap apa yang menurut mereka tidak sukai kepada siapa saja. Sehingga rasan-rasan dan nyinyir selalu berkonotasi negatif. Orang Jawa mengenal istilah sekar lambe atau kembangnya bibir "yen elek dipaido, yek apik dirasani". Bahkan Gunawan Mohammad juga pernah membaca di belakang bak truk tulisan yang berbunyi "polos dibully apik dirasani, elek dirasani kabeh dicacati". Semua hal dalam pandangan lambe turah adalah topik segar untuk dinyinyiri dalam sebuah kolom komentar. Yang paling terasa menjadi korban lambe turah adalah tokoh politik, publik figur, artis, hingga tokoh agama. Fakta memang menunjukkan aktivitas lambe turah baik online atau offline semuanya sama-sama menyakitkan di mata korbannya.

Walaupun sampai hari ini belum ditemukan bukti sejarah berupa prasasti atau naskah kuno yang membicarakan tradisi rasan-rasan, setidaknya kita perlu mencatat bahwa lambe turah tidak selamanya buruk. Mereka hanya perlu dirangkul untuk meng-like, mem-follow, men-suscribe, hingga mendukung jika ada perlombaan yang penilaianya adalah jumlah followers. Kita juga perlu berterima kasih karena kehadiran mereka dunia kita menjadi rame walau kadang menggemaskan juga dengan tingkah mereka. Tapi dengan kehadiran mereka kita juga bisa belajar tentang arti kekurangan, karena mereka merupakan tukang koreksi ulung yang tak diragukan keabsahanya. Kunci untuk menghadapi mereka jika bertemu di jalan atau dalam media cukup beri senyuman atau abaikan atau jika perlu beri wedjangan bahwa "orang yang baik adalah orang yang tidak mengetahui kebaikan dan keburukan orang lain".



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...