Langsung ke konten utama

Anak Milenial dan Kejayaan Semu Media Sosial




Woks

Setiap hari saya berkunjung ke warung kopi di sana tampak pemandangan orang dewasa hingga anak-anak berkumpul bersama dengan gayeng-nya. Salah satu hal yang mempersatukan mereka adalah game atau melihat postingan di media sosial. Tentu iklim kebersamaan dan saling berbagi itu merupakan trend positif akan tetapi lambat laun banyak hal yang juga nampak paradoks.

Keberadaan gadget dan media sosial memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan utamanya hal-hal yang berbau hiburan. Semua orang pasti memiliki gadget dan media sosialnya sendiri. Mereka adalah user bagi diri sendiri bahkan bisa berperan ganda dengan memiliki banyak akun untuk segala macam kepentingan. Dunia gawai memang telah mengaleniasi banyak orang terutama anak milenial apalagi saat ini kegiatan bercumbu dengan gadget justru semakin langgeng karena pandemi.

Pandemi dan gadget menjadi problem utama akan resahnya para orang tua. Mereka hampir setengah mati memikirkan nasib anak-anak ke depanya. Bahkan tak jarang banyak meme yang menuliskan kalimat satire "aku titipkan bangsa ini kepada mu" plus dengan gambar anak-anak yang tengah asyik beribadah jari alias main game online. Tidak salah jika masjid, madrasah terasa sepi sedangkan warung kopi begitu ramai dibanjiri anak-anak.

Entah sampai kapan hal ini akan berakhir. Yang jelas semua orang tahu bahwa gadget dan media sosial memberikan serangkaian kemudahan, hiburan dan informasi pengetahuan. Akan tetapi sejauh itulah media sosial telah berhasil memanipulasi gerak dasar manusia sebagai mahluk sosial. Media sosialnya dan gadget sebenarnya memiliki peran semu guna menarik simpati penggunanya.

Bisa dibayangkan gadget dan media sosial sangatlah update selalu ada kebaruan yang dapat disuguhkan. Sehingga anak-anak, remaja hingga dewasa tak mau kalah untuk selalu memburu unsur kebaruan itu. Dalam ilmu psikologi seseorang yang menganggap dirinya ketinggalan informasi dari media sosial adalah FOMO. FOMO atau Fear of Missing Out adalah sebuah penyakit mental di mana penggunanya merasa tak bernilai jika ketinggalan informasi dari internet. Maka dari itu mereka ingin merasa selalu ter-update.

Fenomena sosial saat ini anak-anak sudah diajak untuk mencari uang katanya dengan bermain game dan memasang aplikasi tertentu akan mudah mendapat uang secara cuma-cuma. Mereka cukup menginstal aplikasi tersebut lalu tunggu informasi terkait iklan lalu klik untuk mengklaim poin nya setelah itu nominal uang akan masuk ke rekening online kita. Dengan begitu secara tidak sadar anak diajari untuk bersikap instan. Dampak paling mengerikan lainya adalah mereka kehilangan empati sosial, kepekaan serta bersikap acuh terhadap lingkungan sekitar.

Sejak dulu teori sosial telah memprediksi bahwa fasilitas media sosial sesungguhnya akan melupakan jati diri. Anak-anak akan lebih fokus dan menurut dengan gadget daripada orang tuanya. Mereka menjadi mudah membangkang dan sulit diatur, ibadahnya tercecer dan mengabaikan pembelajaran pokok.

Selain pengaruh lingkungan dan budaya, kehadiran internet juga tak kalah meresahkannya. Konsep etika diri yang menjadi dasar controling di masyarakat justru semakin tak karuan. Dengan adanya media sosial semua hal tampak tak bersekat segala macam bisa masuk dan mudah diakses termasuk oleh anak sekalipun. Hal yang bersifat privat justru menjadi gelanggang terbuka yang sulit terkontrol anak-anak bisa sangat mudah mengakses sesuatu yang bukan konsumsinya. Jika telah demikian dalam bahasa Mead telah kehilangan konsep diri yang awalnya menjadi pedoman etika.

Jika konsep diri tidak berfungsi maka tidak aneh jika hari kita disuguhkan berbagaimacam konten dengan melibatkan anak-anak sebagai talent nya. Jika konten kreatif yang mendidik tak mengapa tapi faktanya banyak anak terlibat konten dewasa atas dasar iming-iming profit.

Jika sudah demikian perlulah di antara orang tua harus lebih selektif dalam memberikan gadget dan media sosial untuk anak. Bagaimana canggihnya media sosial sesungguhnya ia bersifat semu hanya memberikan kepuasan sesaat. Perlulah berpikir lebih progresif memanfaatkan media sosial sebagai alat yang produktif dan positif.

the woks institute l rumah peradaban 15/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...