Langsung ke konten utama

Marketing Memelas ala Seles Aplikasi




Woks

Saya terus terang begitu geram ketika sedang gayeng berdiskusi ngopi lalu didatangi seorang seles. Anda pasti tau secara umum seles itu bekerja untuk menawarkan sebuah jasa atau produk tertentu. Anda juga pasti sangat paham keahlian mereka dalam menawarkan produk atau jasa tersebut pasti lewat kata-kata.

Sales setidaknya memiliki bekal tiga hal pertama adalah pengetahuan, dua penampilan dan ketiga yaitu kemampuan retorika. Tanpa pengetahuan seorang sales akan kalah dengan pelanggannya, tanpa penampilan menarik seorang seles tak akan mudah dipercaya dan tanpa kata-kata yang memikat seorang seles tak akan mampu mempengaruhi klienya/nasabahnya.

Kata-kata inilah sesungguhnya mengandung sugesti bahkan dalam disiplin ilmu psikologi terdapat istilah hypnoselling. Hypnoselling adalah sebuah kemampuan untuk mempengaruhi pelanggan agar tertarik membeli atau menggunakan jasa si penjual. Cara kerjanya seperti NLP (Neuro-Linguistic Programming) yaitu mempelajari antara bahasa, pikiran dan perilaku seseorang. Akan tetapi pada akhirnya hanya si klien lah yang mampu menentukan batasan lanjut atau tidak.

Saya tidak pernah mempermasalahkan kerja seorang seles akan tetapi yang membuat saya muak adalah cara mereka menawarkan jasa tersebut ke pelanggan. Anda pasti sering bertemu di tempat umum seperti warkop, cafe, swalayan, hingga masjid ada orang yang memohon untuk menginstalkan aplikasi tertentu. Biasanya mereka dari sales Bank utamanya BCA, aplikasi seperti Neo, Akulaku, serta aplikasi lainya yang katanya memudahkan pelanggan untuk transaksi, bayar token listrik, PAM, beli pulsa dan lainya.

Cara mereka menawarkan setengah memaksa atau lebih tepatnya memelas. Alasan utamanya karena dikejar target harus misalnya perhari 10 klien dll. Sebenarnya mau kuantitasnya berapapun yang jelas kehadiran mereka sangatlah menganggu. Cobalah seharusnya melihat sikon siapa saja yang mau dan mana yang tidak, mana yang sibuk, serius dan mana yang sedang santai. Kesanya pekerjaan seles dengan metode memelas seperti itu terlihat sangat egois. Mereka tidak melihat bahwa orang yang berada di tempat umum tidak semua bersantai. Seandainya kita anggap serius pastilah yang demikian itu bisa saja dilaporkan atas dasar mengganggu kenyamanan.

Memang prosesnya tidak sampai berjam-jam akan tetapi bagi orang yang sedang mencari hiburan kehadiran mereka justru sangatlah mengganggu. Apalagi ketika menolak dan mereka terus memohon dengan raut wajah yang melas lantas siapa yang tega menolak. Atas dasar tidak tega itulah pelanggan akhirnya menyerah dan menuruti keinginan si seles. Jika target mereka telah terlampaui mereka akan pergi dan berlalu. Lantas apa keuntungan yang didapat si klien tersebut? tidak ada. Selain terimakasih dan mohon maaf, setelah itu boleh untuk dihapus aplikasi tersebut jika sudah di-instal.

Untung saja tipikal masyarakat Indonesia itu orangnya ramah-tamah khususnya orang Jawa jadi jika seles tersebut berkeliaran di antaranya maka akan mudah saja. Saya kadang berpikir radikal mengapa mereka bekerja menjadi seles dengan metode memelas apakah karena gajinya besar atau banyak bonusnya. Bukankah itu sebagian dari penipuan yang mengatasnamakan perasaan. Bahkan mereka tidak segan mengatakan hal ini dilakukan demi kebutuhan di rumah. Rasanya semua orang punya kebutuhan tapi tidak harus dipaksakan memuluskan segala cara.

Kita ingat kembali bahwa syarat berdagang ala nabi adalah kejujuran. Tanpa kejujuran berarti ghurur atau kebohongan. Jika sudah bohong lantas apalagi jika hukumnya bukan haram. Seharusnya seles tersebut mulai berpikir bahwa apakah usahanya merugikan orang atau tidak. Lantas bagaimana dengan dirinya yang memanfaatkan rasa iba dari orang lain. Bukankah tak ada bedanya pekerjaan demikian dengan mengemis dan pengamen. Walaupun bedanya mereka dibalut dengan pakaian keren dan wajah yang glowing atau bahkan ditambah dengan sedikit pengetahuan agar orang lain percaya. Jika sudah demikian lantas apa yang akan kita lakukan?

the woks institute l rumah peradaban 6/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...