Langsung ke konten utama

Pandemi Momen Menguatkan Teologi




Woks

Hampir setiap hari kabar kedukaan selalu menyeruak kepermukaan. Telinga kita seperti dipaksa untuk mendengar kabar pilu tersebut belum lagi mata berlinang karena tak kuasa menahan tangis di tinggal salah satu dari keluarga yang kita cintai. Tapi apa boleh buat semua hal itu telah jadi bagian dari suratan takdirNya.

Selain itu dampak psikologis begitu terasa doble selain mendengar kabar kematian suara sirine ambulan pun terasa menakutkan. Belum lagi ancaman kelaparan juga tak kalah mencekamnya. Data tentang penyebaran virus, zona daerah hingga simpang-siur media sosial ikut menyumbang kegaduhan. Ketakuan dari dunia maya justru berlanjut dan mengkristal di dunia nyata. Ketakutan, cemas dan khawatir justru menjadi bumbu harian padahal sikap tersebut adalah bagian dari godaan syetan. Lantas apakah berbeda ketakutan karena wabah dengan sikap khauf kepada Allah?

Di sinilah letak tanda tanya yang perlu dijawab sebagai manusia beragama. Kini orang-orang justru merasa over ketakutan padahal rasa itu telah ada baik sebelum atau sudah pandemi. Lantas kemana saja selama ini ketakutan manusia tersebut. Padahal seharusnya manusia memang harus memiliki sifat takut kepada Tuhannya entah memang karena banyak dosa atau karena amal baik yang sedikit.

Saat ini manusia justru diobrak-abrik dengan adanya pandemi. Akal dan pikirannya tidak bersatu padu dengan hati. Akidah atau teologis menjadi terancam untuk terkikis akibat kesalahan niat dan pikiran. Bayangkan kini orang-orang malah lebih takut ke masjid daripada ke pasar. Padahal dua tempat tersebut berpotensi berkerumun akan tetapi potensi keseli tentu berbeda. Entah bagaimana kini orang-orang justru berpikir terbalik mereka lebih takut pada hal-hal yang bersifat keagamaan daripada hiburan.

Tidak hanya itu soal vaksin pun demikian. Orang-orang menganggap dengan vaksin mereka lebih beresiko selamat padahal sebelum atau sesudah vaksin hakikat nya tetap Allah yang memberi keselamatan. Tapi kini justru terbalik orang-orang menjadi takut karena diberbagai kasus ada yang meninggal pasca vaksin. Seharusnya berkaitan apapun di era pandemi seperti saat ini perlulah selalu memperbaiki kondisi keyakinan kita. Jangan sampai ketakutan justru malah menjadi sikap utama dalam menghadapi keadaan.

Yakinlah bahwa Allah telah memberi kadar kepada manusia untuk berikhtiar sekaligus memberi ujian apakah kita mampu melewati atau tidak. Kita pun yakin bahwa virus tersebut ada di sekitar kita akan tetapi tidak usahlah over paranoid yang menimbulkan ketakutan hebat cukuplah hanya kepada Allah tempat kita berserah. Di sinilah pentingnya berpegah teguh kepada tali Allah dalam keadaan apapun. Jangan sampai akidah kita terjajah oleh keadaan pandemi ini.

the woks institute l rumah peradaban 29/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...