Langsung ke konten utama

Menggelorakan Maulid Nabi di era Pandemi




Woks

Di era pandemi seperti saat ini terutama ketika mendengar kabar banyak di antara para tokoh seperti kiai pengasuh pesantren wafat. Para ulama panutan umat entah sudah berapa jumlahnya yang mendahului sedangkan satu saja kesulitan gantinya. Sungguh wafatnya ulama adalah bencana yang tidak bisa ditambal ...موت العالم مصيبة لاتجبر begitu sabda Nabi Muhammad saw. Sebab jika kehilangan mobil atau bahkan istri sekalipun masih bisa diganti sedangkan ulama tidak ada gantinya. Belum lagi masyarakat biasa pun satu persatu bergelimpangan.

Di kala sulit seperti ini tentu kita perlu berpacu diri tetap optimis dan semangat dalam menjalani kehidupan. Karena bagaimanapun keadaannya semua sudah digariskan oleh Allah swt. Saat ini hanya perlu terus introspeksi bagaimana meneruskan perjuangan mereka. Bagaimanapun juga semua hal pasti ada jalanya. Selama harapan itu masih membara pastinya Allah akan memberikan jalan.

Di saat seperti ini kadang harapan seseorang pupus dan diterpa putus asa. Mungkin perlulah mengingat kisah Shalahuddin Yusuf Al Ayyubi ketika membebaskan Yerusalem dari penguasaan tentara Salib. Pada saat itu Sultan Saladin sangat kebingungan bagaimana bisa mengalahkan pasukan Salib sedangkan banyak di antara pasukan muslim yang gugur. Di tengah kebingungan tersebut beliau teringat saudara iparnya penguasa Irbil (Iraq) Raja Muzhaffar Abu Sa’id al-Kukburi bin Zainuddin Ali bin Buktikin (549-630 H) yang menurut Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Al-Hawi li al-Fatawi adalah orang yang pertama kali mengadakan maulid Nabi Muhammad saw.

Sultan Saladin berpikir bahwa hanya dengan dibacakan sirah Nabi Muhammad lah para pasukanya bisa kembali semangat. Dengan membaca biografi Nabi Muhammad yang revolusioner itu harapannya bisa menambah daya semangat dan kecintaan pasukannya dalam membebaskan kota suci tersebut. Akhirnya benar saja sekitar tahun 1187 Sultan Saladin mampu menguasai seluruh wilayah Yerusalem. Nabi Muhammad adalah sosok yang inspiratif sehingga dengan membacakan kisah beliau orang-orang merasa memiliki daya spiritual yang tinggi.

Kisah Sultan Muhammad II atau yang terkenal dengan Al Fatih sang penakluk Konstantinopel pun demikian. Di saat kegundahan hati, bingung menerpa ketika melihat tembok kekaisaran Byzantium itu sulit ditembus ia sering memintakan doa gurunya Syeikh Syamsuddin. Syeikh Syamsuddin lah yang telah mendidik Al Fatih serta mengabarkan bahwa Konstantin akan dibebaskan oleh sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan, begitulah dawuh Nabi Muhammad sekitar 8 abad sebelumnya. Tidak hanya itu peran Syeikh Ahmad al Kurani juga besar utamanya ketika Al Fatih masih kanak-kanak. Guru-guru tersebutlah yang menjadi sosok pemahat hati sehingga spiritualitas sang murid bercahaya dan semakin tajam.

Dari dua kisah tersebut tentu kita belajar sebenarnya banyak kisah di mana ketika gundah gulana membaca shalawat atau membaca maulid nabi merupakan salah satu obat mujarab di sisi lain al Qur'an juga penting. Lantas bagaimana dengan situasi saat ini di mana majelis masih belum diperkenankan aktif? tentu jawabanya sederhana seseorang bisa membantu pemerintah lewat membaca doa, istigosah, membaca maulid secara mandiri di rumah. Jangan dikira bahwa maulid harus beramai-ramai di alun-alun dengan seperangkat sound dan pangguh mewah, padahal esensinya adalah bagaimana suri tauladan nabi menitis ke setiap jiwa umatnya.

Saat ini apa lagi yang kita tunggu selain memagari diri dengan usaha dhohir dan batin salah satunya dengan memperbanyak membaca sholawat. Kesukaan dalam membaca maulid silahkan saja sesuka hati bila perlu menjadi rutinan wajib yang dijadwalkan oleh diri sendiri. Dengan sholawat dan maulid itu justru bisa menjadi benteng diri dari segala hal buruk termasuk saat pandemi ini. Hal apakah yang paling indah ialah ketika mengingat sang panutan umat yaitu Rasulullah Muhammad saw.

the woks institute l rumah peradaban 25/7/21





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...