Langsung ke konten utama

Ngaji Ngopi: Kisah Penyintas Narkoba




Woks

Narkoba telah sejak lama merenggut kebahagiaan dalam hidup seseorang. Entah sampai kapan yang jelas hingga hari ini Indonesia adalah salah satu negara darurat narkoba. Upaya pemerintah melalui instansi BNN tentu terus berusaha memutus mata rantai penyalahgunaan narkoba. Amat disayangkan memang Indonesia masih menganut politik buka tutup. Di lain pihak berupaya keras untuk menutup segala macam tindak pidana narkoba di satu sisi yang lain masih ada oknum yang membuka dan memperluas keberadaan narkoba.

Kata Pak Charles Phelippe selaku mantan penyintas narkoba tidak akan mungkin berakhir narkoba di Indonesia jika hanya ditangani oleh beberapa orang saja. Kita perlu bersinergi antara pemerintah, masyarakat dan semua kalangan. Jangan sampai menyesal kemudian hari seperti kakak Pak Charles yang meninggal akibat overdosis. Pak Umam selaku anggota bagian Rehabilitasi BNN Tulungagung juga mengatakan bahwa ada ratusan lebih tiap bulanya mereka yang perlu penanganan rehab. Jika jumlah tersebut kian hari semakin banyak maka tidak mungkin hanya ditangani oleh BNN saja. Perlu ada kerjasama dari berbagai pihak untuk menangani kasus narkoba ini.

Dulu orang menggunakan narkoba karena mereka mengalami disorientasi, kehilangan kasih sayang dari keluarga, dan tentunya orang kaya. Tapi dewasa ini penyalahgunaan narkoba bisa terjadi kepada siapa saja bahkan sampai pedagang gorengan sekalipun bisa terlihat dalam sindikat barang haram ini. Narkoba memang mengancam dan bahkan sangat dekat dengan kita.

Data setiap tahun mengenai darurat narkoba seperti gunung es yang justru semakin bertambah. Seolah tidak ada tanda-tanda akan sirna. Kasus Fredi Budiman dengan orang bule Australia mungkin menjadi yang paling disorot media pasalnya mereka terbukti menyelundupkan narkoba sebesar 1 ton maka pantas mereka dihukum mati. Bayangkan 1 ton narkoba baik jenis ekstasi atau apapun itu jika sampai terdistribusikan maka cukup untuk membuat teler 2 juta orang Indonesia. Tentu peristiwa ini tidak boleh dibiarkan karena termasuk pelanggaran berat.

Bisnis barang haram ini memang sangat menguntungkan bayangkan saja untuk 1/4 gr saja harganya bisa sampai 400 ribu sedangkan 1 gr nya 1 juta 200 ribu. Harga tersebut tentu hanya terjangkau oleh mereka yang kaya akan tetapi faktanya tidak, semua bahkan bisa mendapatkan dengan mudah. Jika mau tentu brantas habis bandarnya karena ini urusan perang dagang dunia maka akan terasa sulit dalam menanganinya.

Jika ada teman atau saudara yang terkena narkoba maka jangan lantas langsung dihakimi. Akan tetapi segera melapor dan akan mendapat tindakan medis serta langsung dibawa ke tempat rehabilitasi. Memenjarakan korban atau pecandu bukan merupakan solusi utama. Jika pengedar atau bandar maka sangat tepat sebab antara pecandu, korban dan aktor sangat berbeda serta diatur menurut undang-undang tersendiri.

Orang kecanduan narkoba sama dengan memiliki penyakit sehingga penyembuhan nya yaitu dengan rehab, salah satunya melakukan treatment sesuai dengan problem bawaan dan menurunkan prevalensinya. Para pecandu tentu memiliki dampak dan tekanan mental tersendiri apalagi jika berhadapan dengan benturan psikis, psikologis, sosial pasti sangat berat memulihkanya. Secara fisik dan mental mungkin bisa disembuhkan tapi nama baik belum pasti dapat dipulihkan.

Mereka para pecandu yang sering kambuhan memang perlu diberikan sugesti dan motivasi untuk disadarkan. Salah satu penguatan itu terdapat memalui keluarganya. Maka peran keluarga sangatlah besar bahkan bisa jadi ajang evaluasi. Karena selama ini orang kecanduan narkoba bisa jadi akibat hilangnya apresiasi, harga diri dan broken home.

Perlu diketahui bahwa antara pecandu, penyalahgunaan, pengguna dan korban itu berbeda. Mereka dibedakan pada tingkat kecanduan jika tidak berarti hanya penyalahgunaan. Maka jika ingin membrantas narkoba musnahkan barangnya dan tutup bandarnya. Jika barangnya ada tapi pasarnya tidak ada pasti tak akan laku dan sebaliknya.

Orang-orang yang dibina dalam rehab akan mendapatkan pelayanan berupa detoksifikasi, re-entri, kesiapan setelah rehab dan vokasi life skill, survival untuk mempersiapkan mental mereka pasca sembuh. Mereka juga diberi berbagai terapi seperti terapi komunitas dan pembiasaan berupa three second speech serta saling membantu alias kerjasama. Maka alur yang tepat jika menemukan pengguna narkoba ialah mencegah, penangkap, dan rehab. Rehabilitasi inilah yang sangat penting untuk mendidik mereka bukan memenjarakannya.

Beberapa pesan untuk para generasi muda:
Hidup hanya sementara, terus berkarya, jauhi narkoba.

Untuk Tulungagung dan Indonesia yang lebih sehat lebih baik tanpa narkoba.

the woks institute l rumah peradaban 9/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...