Langsung ke konten utama

Sekolah Untuk Cari Kerja Apa Salah?




Woks

Beberapa hari yang lalu sebelum pembagian kelas baru seorang ibu wali siswa bercerita sekaligus berkeluh kesah di dalam grup WhatsApp. Dalam keluh kesah tersebut seorang ibu memberi masukan yang panjang dalam sebuah tulisan atau chat WA. Suatu ketika si wali kelas bergumam, "orangnya belum pernah ketemu, belum pernah diskusi sekalinya curhat panjangnya seperti koran".

Salah satu isi dari keluhan si ibu wali siswa itu ialah, pertama ia memohon dengan sangat agar sekolah memaksimalkan kerja-kerja pelayanannya terhadap siswa utamanya soal penggunaan dana siswa seperti untuk pengembangan, bakat, eskul hingga studi tour. Kedua, ia menekankan agar sekolah membuat modul pembelajaran secara mandiri dan tidak perlu untuk bergabung dengan LKS yang dibeli dari penerbit buku. Ketiga, bagaimana agar sekolah untuk terus meningkatkan reputasi sebagai lembaga tujuannya agar alumninya dapat bekerja dengan mudah. Si ibu mengeluh katanya banyak anak yang keluar dari sekolah tersebut kesulitan mencari kerja.

Dari cerita wali kelas tersebut tentu saya ingin merespon yang terakhir bagaimana jika sekolah diniatkan untuk cari kerja apa salah? sebenarnya tidak sepenuhnya salah, itu realistis saja akan tetapi dalam syarat semangat mencari ilmu kurang tepat. Memang selama ini orang-orang telah terhegemoni bahwa pendidikan harus sekolah jika bukan sekolah berarti pendidikan. Padahal seorang anak mengembangkan skillnya tanpa harus di sekolah, termasuk mereka bermain, bersosialisasi itu pun termasuk pendidikan.

Sebenarnya jika ingin tahu mengapa orang harus mencari kerja pasca lulus sekolah karena sejak awal mindset siswa sudah dibentuk untuk mencecap teori secara berlebihan sehingga outputnya adalah pencari bukan pencipta kerja. Selanjutnya sejak awal mereka selalu diberi cerita "tentang" bukan "harusnya" artinya siswa tidak hanya diajari tentang orang lain melainkan tentang dirinya sendiri. Maka tidak salah jika sekolah adalah tempat menunjukkan sekaligus mengasah kemampuan siswa. Di sisi lain sejak awal siswa selalu dijejali cita-cita dalam bentuk materiil, kedudukan, posisi strategis dan tentunya bangku kerja.

Coba sejak awal mindset itu dirubah perlahan pastinya pemikiran siswa dan orang tua tidak tertukar seperti saat ini. Pengelola sekolah tentu sadar bahwa untuk menyadarkan dan menghidupkan mindset belajar terhadap siswa memang tidak mudah. Tentu perlu serangkaian upaya agar mereka juga tergerak hatinya bahwa fungsi pendidikan utamanya bukan bekerja tapi kebermanfaatan. Toh mengurai apa itu bermanfaat pun sangat luas maknanya.

Lagi-lagi kita sebagai orang tua dan pengelola pendidikan seharusnya lebih paham bahwa pendidikan bukan soal kerja tapi soal ilmu. Saya pribadi tidak yakin jika sekolah tentang kerja hal itu pasti tak jauh karena doktrin selembar ijazah dan hegemoni masyarakat bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi pula tempat kerjanya. Padahal rumusnya sederhana bahwa setinggi-tingginya sekolah dan seseorang bisa kerja di perusahaan besar dengan gaji besar ia tetap saja karyawan. Berbeda dengan mereka yang cukup ilmu dan mental walau tidak sekolah tinggi tapi boss karena memiliki usaha secara mandiri.

Maka dari itu untuk mengakhiri tulisan ini saya harap orang tua berfikir ulang jika nanti ingin menyekolahkan anaknya. Saya harap jangan berniat cari kerja sebab dengan begitu kita diajari mental budak berharap pada almamater, selembar ijazah dan gelar. Kerja hanya berniat memperkaya diri sendiri sedangkan jika sejak awal sekolah dengan niat mencari ilmu, memperbaiki diri, mendalami agama atau ingin bermanfaat di masyarakat tentu niat itu sangatlah mulia. Niat demikian tentu skalanya lebih luas toh jika pada akhirnya pasca lulus ia tidak menduduki posisi tertentu setidaknya niatnya sudah baik tinggal manusianya saja yang perlu dipertanyakan akan terus maju atau diam statis tak mau bergerak. Saya kira mutiara berkilau tak perlu berkoar-koar jika barang berharga.

the woks institute l rumah peradaban 17/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...