Langsung ke konten utama

Perempuan dalam Sebuah Karya Lagu



Woks

Indramayu dikenal sebagai kota Mangga. Kota yang pusat pemerintahannya berdekatan dengan Kali Cimanuk itu memang menyimpan sejuta potensi. Akan tetapi memasuki milenium awal kota ini nampaknya berubah bahkan sebutannya pun berganti menjadi kota gadis. Sebutan itu dikenal oleh orang luar karena perempuan Indramayu sangat mudah untuk dinikahi.

Sebagai putra daerah saya merasa miris ketika membincang Indramayu, pasti yang muncul ke permukaan adalah tentang perempuannya. Entah mengapa hal itu bisa terjadi bagaimana prosesnya dan kapan semua itu akan berakhir. Nampaknya pertanyaan demikian selalu terlintas dalam pikiran. Mengapa orang luar Indramayu hanya tau tentang narasi seksualitas tanpa pernah tau hal lain misalnya Kilang Minyak Balongan, Batik Paoman, Festival Tjimanoek, Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah, Pulau Biawak, Dayak Segandu, Karangsong, Taman Buah dll.

Perempuan Indramayu memang sangat terkenal akan tetapi identitas tersebut nampaknya negatif karena tidak mencirikan perilaku yang berbudaya. Dasarnya karena faktor yang kompleks menerpa kota ini di antaranya ekonomi lemah, pendidikan rendah dan pemahaman agama yang minim. Ironisnya keadaan itu justru terekam dalam sebuah karya lagu. Banyak di antara lagu Jawa Dermayu yang dinyanyikan dan dipentaskan dalam lakon Tarling atau Sandiwara yang berkisah tentang rumah tangga, seksualitas, TKW, perceraian, orang ketiga, sampai status janda duda.

Lagu-lagu yang bertemakan perempuan dan rumah tangga memang selalu subur karena lagu tersebut tercipta dari fakta sosial yang ada. Lagu seperti Keloas, Demen Bapane, Duda Araban, Randa Taiwan, Jeritan TKW, Diusir laki, Ketuwon, Wong Tani, Laki Rabi, Kucing Garong serta lagu tarling yang lebih lawas Sumpah Suci, Manuk Dara Sejodo, Telaga Remis, Bantar Bolang, Pemuda Idaman, Duda Maesan, Ugal-ugalan dll. Ironisnya lagu-lagu tersebut mayoritas dinyanyikan oleh perempuan.

Tapi sangat disayangkan lagu yang beredar itu masih sangat kental dengan budaya patriarki. Budaya yang justru semakin melanggengkan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Melalui lagu-lagu tersebut lah justru kondisi sosial Indramayu semakin terekam dengan jelas sehingga tidak mengesampingkan budaya pesisir dan agraris yang keras.

Di antara lagu-lagu tersebut tentu perempuan selalu di posisikan sebagai the second sex. Lagi-lagi perempuan menjadi objek ketidakberdayaan atau lebih tepatnya hanya berperan sebagai pelengkap. Dalam Jurnal Al Tsaqofa, Hasby Ash Shidiqy menjelaskan dalam temuanya bahwa perempuan dicitrakan sebagai seorang yang menderita, materialis, lugu, idaman dan sosok penyanyi. Hal itu terjadi karena faktor pendidikan rendah, ekonomi lemah dan pemahaman agama yang minim.

Barangkali dalam karya lagu tersebut penyanyi lagu Pantura Dermayu ingin menunjukkan sebuah eksistensi sekaligus menepis bahwa perempuan juga mampu tampil di ruang publik, menjadi wanita karir dan menjadi pemimpin. Lewat karya lagu tersebut justru perempuan ingin mengibarkan gerakan feminisme sebagai gerakan keseimbangan dan interelasi gender. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2004) feminis adalah sebuah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

Walaupun sangat disayangkan lagi-lagi citra yang ingin dibangun lewat karya lagu justru telah dipengaruhi oleh latar budaya yang mengikutinya misalnya perempuan geraknya terbatas, sikapnya lemah lembut, harus di rumah dan bahkan cenderung terkonstruk cara pandang patriarkis. Akan tetapi di Indramayu justru sebaliknya perempuan malah harus bekerja lebih keras. Mereka pasca menikah muda tanpa berpikir panjang lari ke luar negeri untuk bekerja adalah pilihan. Ekonomi lagi-lagi menjadi faktor penyebab angka buruh migran Indramayu meningkat.

Lewat lagu-lagu yang bertemakan perempuan, rumah tangga dan sosial tersebut sejatinya para seniman ingin menghentak, membuka mata dunia bahwa ada hal yang perlu diselamatkan yaitu perempuan, keluarga dan kemanusiaan. Jika bukan karena kesadaran pribadi dan kolektif permasalah perempuan dan sosial tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mungkin saja lewat lagu dunia bisa mendengar karena harmoni, nada dan syairnya justru sebagai sebuah gerakan agar kita tidak diam, tidak bisu. Semua orang berhak atas dirinya sendiri berkarya tanpa takut untuk dihakimi.

Tulisan ini merupakan kontribusi atas event menulis Zenireang, Wadon Dermayu Ora Meneng.

the woks institute l rumah peradaban 16/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...