Langsung ke konten utama

Anak dan Salaman Kepada Guru




Woks

Suatu pagi ada challenge dua orang guru berdiam diri di tengah lapangan sekolah. Guru tersebut terdiri dari satu guru muda dan satu guru senior bisa dikatakan sepuh. Tujuannya tak lain agar tangan mereka menjadi hajar aswad untuk diciumi oleh anak-anak. Bagaimana respon anak ketika guru tersebut berdiam diri di sana. Apakah mereka dengan kepekaan mendatangi guru tersebut lalu menyalaminya atau minimal menyapa atau bahkan mengabaikannya.

Singkat cerita guru sepuhlah yang paling banyak disalami oleh anak. Tapi ada faktor lain mengapa anak tidak menyalami guru muda. Beberapa faktor tersebut terangkum seperti; pertama, si anak memang tidak peka dan belum mengerti. Kedua, efek pandemi barangkali mengaburkan banyak hal termasuk akhlak kepada guru. Ketiga, salaman masih belum dipahami secara dalam oleh si anak termasuk menghormati ahlul ilmi. Keempat, barangkali si anak belum mengenal guru muda sedangkan guru sepuh sudah sering mereka jumpai.

Persoalan salaman memang nampak sederhana. Akan tetapi penerapannya tidak sesederhana yang di lisan. Salaman adalah pekerjaan yang perlu pembiasaan. Anak-anak sejak dini memang perlu dibiasakan untuk bersalaman minimal dengan orang terdekatnya. Sejak dulu soal salaman berlaku rumus sederhana yaitu yang muda menaruh hormat kepada yang tua dan yang tua memberi kasih sayang pada yang muda.

Soal salaman memang kompleks padahal ia adalah salah satu tanda ahli syurga. Di posisi misalnya, dua orang yang tengah bertengkar lalu mereka bersalaman, islah, saling memberi maaf lalu rangkulan ini tentu suatu yang luar biasa dan sulit ditemui. Hanya orang-orang dengan hati seluas samudera lah yang mampu mempraktekkan hal itu.

Salaman tidak hanya sekadar berjabat, bertemunya dua telapak tangan. Akan tetapi simbol di mana kita adalah saudara. Baik saudara seiman, seagama hingga sesama manusia. Maka dari itu jangan sampai anak tidak diajarkan tentang makna bersalaman. Anak harus tahu bahwa salaman adalah cara Tuhan menurunkan budaya saling merasa rendah hati di depan sesamanya apalagi di hadapanNya.

the woks institute l rumah peradaban 7/12/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...