Langsung ke konten utama

Perlukah Kita Mempercayai Sains?




Woks

Di awal tahun 2021 kita sempat geger sekaligus asyik dengan perdebatan menarik seputar sains yang melibatkan para pesohor di laman Facebook. Mereka saling memberi argumen sekaligus menganulir berbagai hal mengenai mispersepsi soal pandemi secara umum. Orang-orang itu di antaranya budayawan adiluhung Gunawan Mohamad (GM), AS. Laksana, Ulil Abshar Abdalla, Hamid Basyaib, FK. Sitorus, F. Budi Hardiman hingga si bungsu Taufiqurrahman.

Tulisan ini tentu berangkat dari judul e-book si bungsu Taufiqurrahman yang berjudul "Mengapa Sains Layak Dipercaya?" (Antinomi, 2021). Dari beberapa nama yang disebutkan tentu Taufiqurrahman adalah pendatang baru akan tetapi beberapa tulisanya yang juga mengkritik GM dan Ulil barangkali tidak bisa dianggap remeh. Ia mengkritik GM yang menaruh kecurigaan berlebihan terhadap sains, ingin memberi ruang pada misteri dan karena alasan gaya tulisanya yang selalu mencuplik tokoh dan ketokohan "cherry picking" itu hanya sekadar legitimasi gagasannya.

Ia juga mengkritik Ulil karena alasan lurah pondok itu terlalu sinis terhadap saintisme. Gus Ulil terlalu menganggap pongah sains karena ia bukanlah satu-satunya metode yang dapat dipercaya. Ia memiliki paradoks, kagum terhadap sains dan tidak suka terhadap saintisme.

Tapi dari narasi panjangnya Taufiq memberikan pencerahan walaupun sains belum sempurna akan tetapi ia adalah jenis pengetahuan terbaik yang kita miliki. Pengetahuan terbaik itu setidaknya karena metodenya. Setidaknya lewat sikap ilmiah kita dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan hal-hal skeptis yang belum terpecahkan. Dengan sikap itu masyarakat diajari agar jujur dan tidak menutupi segala ketidaktahuanya. Selama ini ketidaktahuan adalah musuh besar manusia yang selalu menjadi tameng segala kepentingan.

Sikap ilmiah menjadi penting untuk mengonfirmasi segala sesuatu yang skeptis. Sikap ilmiah juga menjadi landasan bersyukur karena manusia menggunakan akal pemberian Tuhan. Coba bayangkan jika setiap orang yang bukan pakar seenaknya bicara bahwa pandemi ini rekayasa biologis, konspirasi, tentara Tuhan tanpa dasar pasti iklim berpikir kita tumpul. Bukankah dulu di akhir abad 19 black death disebabkan "miasma" akan tetapi pada 1880 teori miasma dianulir karena adanya "kuman" atau mikroorganisme dan seperti itulah hingga kini terus berkembang. Dengan begitu kita tidak antisains dan tidak berpikir tanpa dasar. Setidaknya sains mengajari tidak anti kritik dan membedakan dari dogma.

Tapi apakah fakta di lapangan percis yang digambarkan Taufiq metode saintifik perlu dipercaya? rasanya tidak selalu. Saya memiliki pengalaman tersendiri soal ini betapa sebagai masyarakat awam tentu kita hanya bertanya sekaligus sedikit curiga. Lagi-lagi karena ketidaktahuan masyarakat hanya dibuat sebagai objek pasif. Masyarakat dipaksa menerima hasil tanpa pernah menafikan objek formalnya. 

Semua hal dalam proses misalnya rapid test antigen adalah formalitas. Kita datang ke stasiun lalu boarding pass, cetak karcis KA, antri lalu mengisi data test. Setelah itu duduk dalam bilik test dan seketika sebuah benda serupa cotton bud panjang masuk di hidung lalu di putar-putar. Setelah selesai hanya perlu menunggu 60 detik dan surat dinyatakan negatif sudah siap sebagai bukti keberangkatan KA jarak jauh, praktis bukan.

Masyarakat dipaksa tunduk oleh produk sains dan petugas. Kita tidak punya ruang untuk bertanya sekaligus kritis terhadap alat dan cara kerjanya. Akan tetapi dengan begitu masyarakat juga senang karena tidak ribet. Memang selama ini kekritisan kita tumpul karena masyarakat sudah terlanjur mengandalkan uang sebagai pelicin segala hajat. Termasuk dalam ruang-ruang test kejujuran memang entah di mana tempatnya.

Sains dan produknya justru menjadi alat kendali masyarakat. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa hanya bisa pasrah pada sistem administrasi yang harus dilalui. Jika tidak ada surat bukti vaksin atau rapid maka kita tak bisa melakukan aktivitas yang diinginkan. Dengan begitu semua kendali produk teknologi dalam bahasa Yuval Noah Harari adalah karena manusia itu sendiri. Mereka yang punya data dan otoritas akan selalu menang dan kita tak jadi apa-apa.

the woks institute l rumah peradaban 23/12/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...