Langsung ke konten utama

Majlaz bersama Kyai Muharror Demak : Metode Arbain Cara Mudah Menggapai Keutamaan Ilmu




Woks

Alhamdulillah Majlaz tiap kali dihelat tak pernah sepi dan selalu menarik untuk disimak. Kali ini Majlaz begitu istimewa karena dihadiri oleh beliau Kyai Muharror Khudori dari Demak Jawa Tengah. Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al Mubaroq Arbain sekaligus penyusun Kitab Arbain Fii Nahwi wa Shorof wa Lughoh. Kitab tersebut berisi ulasan lengkap mengenai dunia nahwu dan shorof sebagai media baca kitab kuning dengan praktis dan mudah.

Menurut beliau kitab tersebut disusun karena teman-teman di berbagai media sosial dan berkembang hingga kini sampai dibukukan. Awal mula beliau menyusun kitab tersebut yaitu diceritakan suatu hari ada seorang kyai ingin mencari guru thoriqot, beliau mendengar di Tulungagung ada mursyid yaitu KH. Abdul Jalil Mustaqim bin Husein dari PETA. Ketika beliau sampai di Tulungagung kyai itu masih ragu bahwa KH. Abdul Jalil adalah mursyid, lantas dalam perjalanan pulang tak lama mobil kyai tersebut mogok. Ketika mendapatkan bengkel, ternyata yang menjadi montir adalah beliau KH. Abdul Jalil, dan beliau dawuh, "masih meragukan kemursyidanku".

Sekilas dari cerita itulah akhirnya beliau menyusun kitab Arbain yang tujuannya adalah hadiah untuk KH. Abdul Jalil Mustaqim. Beliau yang juga murid KH. Wachid Zuhdi dawuh selain hadiah kitab tersebut sengaja disusun untuk fan ilmu nahwu shorof yang mudah untuk dipelajari siapa saja bahkan untuk anak kecil pun bisa menggunakannya.

Suatu saat ada cerita yaitu dari beberapa media yang ingin belajar Arbain kemudian beliau menuliskan dalam buku. Suatu ketika catatanya hilang, akhirnya beliau meminta memohon kepada Allah untuk bisa mengembalikan, akhirnya ada kyai dari Lombok yang membantu mengetikkan dan ditanya oleh kyai yang mengetikkan tadi apa judul buku ini? Beliau menjawab tidak ada judulnya dan tidak ada pondoknya, akhirnya teman-teman media yang memberikan nama Arbain yang berarti riyadoh selama 40 hari (istiqomah belajar 40 hari berturut), dan nama pondok al Mubarokah adalah nama mushola kampung.

Selama 19 tahun Kyai Muharror berdakwah dan mengajar bersama Arbain tidak memungut biaya sama sekali, hingga fase di mana santrinya tetap istiqomah 40, jika ada santri keluar 3 maka akan masuk 3 santri jadi tetap 40. Bahkan sampai sekarang santri Kyai Muharror berjumlah 1.900 santri.

An nahwu abul ilmi wa shorf ummuhu begitu kata Kyai Muharror bahwa dengan belajar nahwu shorof berarti kita telah ikut dalam membuka ilmu-ilmu yang lainya. Karena nahwu adalah bapaknya pengetahuan dan shorof adalah ibunya. Dengan begitu ketika dua fan ilmu ini dikuasai maka kita akan mudah memahami gramatikal Arab, al Qur'an hingga kitab-kitab klasik karya para ulama. Dengan begitu umat Islam tidak terasing dan tercerabut dari peradaban besarnya. Bahwa perlu diingat umat Islam memiliki sanad ketersambungan dengan ulama terdahulu maka sangat penting untuk terus menggali kearifan ilmu tersebut. Jika ilmu alatnya sudah disiapkan sejak dini insyaallah peradaban itu bisa mudah kita kuasai kembali.

Menurut Kyai Muharror didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Nah, zaman saat ini yaitu mendidik harus by teknologi. Jadi teknologi dalam hal ini gadget harus dilibatkan. Orang-orang harus merevisi bahwa jika anak membawa gadget akan menggangu proses belajarnya. Justru saat ini gadget sebagai salah satu penunjang belajar sehingga anak menjadi serius. Cara praktisnya yaitu dalam hal pelaporan misalnya ketika setoran hafalan, murajaah dan lainya kepada orang tua. Dengan begitu orang tua juga bisa memantau perkembangan anak dalam belajarnya lewat gadget dan perangkat media sosialnya.

Sekilas demikian catatan dalam acara Majlaz kali ini semoga bermanfaat dan kita sebagai santri akan terus memperhatikan setiap dawuh-dawuh yang disampaikan Kyai Muharror tersebut. Semoga Allah Subhanahu Wataala berkenan memberikan secercah keridhoanya kepada kita untuk terus ikhlas dalam menimba ilmu.

the woks institute l rumah peradaban 19/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...