Langsung ke konten utama

Ziarah Ke Makam Kiai Muiz Ali




Woks

Siang itu aku bergegas menemui seorang teman untuk minta diantar ke makam Kiai Muiz. Langsung saja setelah ku temui temanku itu ia sangat bersedia. Temanku bernama Mar'isyam dan adiknya Akbar Riziq. Mar'isyam langsung bergegas tancap gas menuju ke makam beliau dan memang bertepatan di belakang rumah.

Sesampainya di sana kami disambut oleh Mba Afroh dan ibu. Dua buah gelas kopi dan biskuit sudah menemani berbincang kita. Dengan tanpa sedih dan mencoba terus sumringah ibu bercerita bahwa kepergian bapak memang tidak terduga bahkan tidak ada isyarat khusus yang beliau rasakan. Akan tetapi kenangan bersama bapak tentu tak bisa dilupakan baik oleh keluarga maupun para siswa dan jamaahnya.

Bapak memang tipe orang yang sederhana, humoris dan apa adanya. Tidak hanya itu beliau juga romantis. Suatu ketika beliau berseloroh kepada ibu, "Bu, bidadari ada 40 lhoo nanti buat bapak semua". Bapak mencoba membuat ibu cemburu, lantas ibu menjawab "Ya biarin pak, nanti juga 40 bidadara buat ibu juga". Kata bapak, " ndak bu, jadi bidadari 40 itu yang pertama ibu". Begitulah salah satu keromantisan beliau.

Selain itu Mba Afroh juga bercerita setiap orang yang ditinggal pergi salah satu anggota keluarga pasti akan merasa kehilangan dan biasanya ada mimpi sebagai media pertemuannya. Misalnya suatu malam Mba Afroh bermimpi dalam acara tahlilan bapak, di sana ada Al maghfurllah Kiai Hafidz dan tokoh lainya lalu di belakangnya ada Nuha adiknya. Entah pertanda apa mimpi tersebut yang jelas ia berharap kebaikan datang kepada adik dan keluarganya.

Setelah berbincang kami pun langsung menuju ke belakang rumah. Kebetulan beliau di makamkan di sana. Dengan tanpa banyak kata aku pun langsung mengucap salam kepada beliau guru fikih ku tersebut. Lalu kami pun membacakan tahlil dan merapal doa buat beliau. Rasanya tentu terenyuh karena baru saja kemarin kita bertemu dan pertemuan di warkop itu adalah segmen terakhir kita.

Aku tentu terus mengenang perjalanan beliau. Seseorang yang selalu sabar dan merakyat. Beliau memang inspiratif dan tentunya penuh dengan pelajaran. Semoga esok akan ada penerus beliau yang melanjutkan perjuangannya. Lahul Fatihah.

the woks institute l rumah peradaban 28/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...