Langsung ke konten utama

Malu sebagai Ideologi Kebangsaan




Woks

Sejak dulu Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah. Tentu keramahan tersebut sebagai suatu sikap cerminan dari budaya Timur yang kental. Salah satu sikap menarik dari bangsa kita adalah malu. Tapi jika ditanya apakah bangsa ini masih punya malu. Tentu pertanyaan tersebut perlu diurai dalam narasi yang panjang.

Bicara tentang rasa malu penyair Taufik Ismail pernah menyatakan rasa malunya bahwa bangsa ini tidak punya malu. Misalnya saja kita berbangga ketika korupsi merajalela, kita malah tertawa ketika dinobatkan sebagai negeri penghasil sampah terbanyak, negara paling macet sedunia serta negara yang ironi ketika harus impor garam di tengah harta maritim yang kaya.

Perasaan malu itu semakin diperparah dengan tingkah para pejabat kita yang kian hari semakin tidak waras. Akibatnya dengan ulah mereka seperti korupsi, culas, jual beli jabatan hingga bertindak seperti kanak-kanak masyarakat seperti kehilangan kepercayaan terhadap mereka. Dengan berbagai ketimpangan moral dan sosial tersebut rasanya orang-orang mulai terkikis rasa malunya.

Jika belajar pada Islam tentu sikap atau rasa malu berkedudukan istimewa dengan sikap lainnya. Nabi Muhammad saw bersabda bahwa الحياء من الايمان malu adalah sebagian dari iman. Dengan rasa malu itulah rasanya menjadikan manusia menjadi bernilai. Alasan sederhananya yaitu karena setiap orang akan bertindak dengan segenap pikiranya. Dalam Kitab Wasiyatul Musthofa bahkan dijelaskan bahwa malu adalah akhlak Islam. Sehingga jika setiap muslim tidak memiliki rasa malu ia sejatinya tengah menginjak ajaran agamanya.

Soal rasa malu barangkali kita ingat sosok Abu Nawas yaitu manusia yang sering menjadi satir atas pikiran orang lain. Salah satu contoh ketika Abu Nawas membawa obor dan ember berisi air. Di siang hari nan terik kedua benda itu ia bawa ke atas bukit, ia lalu berpidato dari ketinggian bahwa akan memadamkan api neraka dan akan membakar surga. Apa yang dilakukan oleh Abu Nawas tentu membuat gelak tau penduduk, ia memang sudah ngawur. Tapi sejatinya Abu Nawas sedang mengkritik penghakiman atas surga dan neraka yang selama ini diperebutkan setiap orang.

Abu Nawas malu bahwa ternyata manusia dengan mudahnya melabeli sesama saudara dengan sesat, salah dan neraka. Padahal penghakiman tersebut adalah mutlak milik Tuhan. Fenomena kehilangan rasa malu barangkali sudah di level akut baik secara individu maupun kelompok. Malu sudah tidak menjadi perhatian publik terutama karena budaya Barat yang menyebar seperti free wail, freemason and free sex. Bahkan orang Jawa memberi rambu jika , "wong wedok wis ilang wirange" itu pertanda bahaya. Busana tidak lagi menjadi pelindung tubuh yang utama dan akal sehat tidak berfungsi dengan baik. Atas dasar kebebasan dan hak asasi menjadi landasan untuk melakukan sesuatu.

Dalam konteks yang lebih luas jika malu membudaya lagi di tengah masyarakat pastilah segala macam ketimpangan bisa terkikis. Malu memang harus disemai kembali baik secara kesadaran individu maupun kelompok. Dengan begitu orang yang akan korupsi malu kepada mereka yang miskin dan papa, orang yang ingin buang sampah malu dengan papan larangan buang sampah, orang yang ingin maksiat malu dengan Tuhanya. Malu adalah sikap yang harus dimiliki setiap orang dan setiap bangsa. Jika hidup masih memiliki rasa malu maka kehidupan tersebut layak diteruskan.

the woks institute l rumah peradaban 8/12/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...