Langsung ke konten utama

Membaca Gus Dur dalam Narasi Moderasi dan Pandemi




Woks

Pada 14 Muharram 1443 H tepat 12 tahun berpulanganya KH. Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus Dur versi hitungan hijriyah dan kini sudah di 30 Desember bulan Gus Dur berpulang. Waktu tersebut tentu menarik kembali ingatan banyak orang betapa rindunya pada sosok pejuang kemanusiaan tersebut. Beliau memang telah banyak berkontribusi bagi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia sehingga ajarannya selalu relevan meski zaman silih berganti.

Saat ini keadaan pandemi tentu Gus Dur tidak menjumpainya akan tetapi ada beberapa hal yang dapat kita tuangkan menjadi gagasan Gus Dur yang tidak cepat usang. Gus Dur telah membuktikan bahwa keberagamaan bangsa Indonesia harus terus dipupuk dan dipertahankan. Hal itu terbukti dari jargon, "yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan" bukan sekadar jargon tapi justru menjadi laku hidup beliau.

Kita tentu tahu bahwa prolematika masyarakat justru sangat mudah ditemui pada umat beragama. Karena landasan teologis berbeda seseorang sangat mudah berkonfrontasi tanpa pernah mau mengalah. Ajaran toleransi begitu terusik akibat pandangan dari luar yang masif masuk ke Indonesia lewat kajian-kajian dan sasaran utamanya adalah anak muda. Selain itu ketidakpercayaan masyarakat kepada penguasa semakin kentara lebih lagi di tengah pandemi mereka justru memperlihatkan kebengisan kekuasan dengan praktek korupsi bansos, alat kesehatan hingga jual beli jabatan.

Jika dalam pandemi ini Gus Dur masih ada tentu beliau akan melakukan pilihan solusi berdasarkan kaidah fikih dan Gus Dur memang satu-satunya presiden yang paham akan kaidah fikih tersebut. Menurut Gus Nadirsyah Hosen ketika memilih mendahulukan agama atau kesehatan badan maka Gus Dur akan menggunakan kaidah sihhatul abdani muqaddamatun ‘ala sihhatul adyani, kesehatan badan dulu baru kesehatan agama.

Jika keadaan ekonomi dan kesehatan yang bertentangan tentu Gus Dur akan memilih kaidah dar’ul mafasid muqaddamun’ala jalbil masalih. Artinya bahwa kesehatan lebih diutamakan daripada meraih kekayaan harta. Tentu kita tahu bahwa Gus Dur kurang yakin jika di hadapkan dengan data statistik. Karena bagi Gus Dur data statistik hanyalah kulit sedangkan yang terpenting adalah esensinya. Dalam bahasa vulgar statistik ibarat bra dan yang terpenting adalah isinya.

Soal moderasi pun demikian, jika Gus Dur masih ada tentu beliau akan turun langsung dan menjadi garda terdepan buat mereka yang terdiskriminasi. Menurut Alisa Wahid ayahnya pernah menahan amarah warga ketika ditelpon oleh sekelompok orang di Tangerang karena alasan Ahmadiyah. Tentu kisah Gus Dur dan kalangan minoritas sangat banyak bahkan pasca beliau wafat mereka yang pernah dibela merasa kehilangan.

Bagi Gus Dur moderasi beragama perlu terus disemai. Karena moderasi menjadi salah satu faktor penting agar masyarakat memahami perbedaan. Salah satu akar permasalahan selama ini karena masyarakat tidak membangun dialog yang baik dengan objek masalah. Sehingga dengan banyaknya sumbu dan ketegangan dialogis menjadi salah satu solusi. Meredam konflik memang sangat sulit maka dari itu lewat keteladanan harapanya masyarakat mengerti bahwa faktor eksternal kita harus menerima perbedaan, keragaman dan saling menghormati. Serta faktor internal kesadaran diri sendiri juga perlu dihidupkan di tengah masyarakat plural ini.

the woks institute l rumah peradaban 30/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...