Woks
Pada peringatan sewindu haul Gus Dur saya dan beberapa teman menyempatkan hadir ke Tebuireng. Di sana peringatan haul beliau dihelat setelah dari Ciganjur dan tentunya dipadati ribuan jamaah. Sejak siang setelah perjalanan beberapa jam dengan motoran kami tiba dan singgah sejenak stasiun Jombang, masjid agung dan segera transit ke Diwek tepatnya salah satu rumah teman kami, Mas Kembar Rohman Najib. Di sana kami dijamu dan pastinya kita berbagi kisah mengenai kehidupan.
Singkat cerita sesampainya di Tebuireng kami langsung menuju Masjid Ulul Albab untuk rehat sejenak. Setelah itu barulah mencari jajanan di sekitar kios-kios dekat makam. Banyak berjajar pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dari mulai gorengan, pentol sampai bakso dan mie ayam. Saya pun mencoba menepi di warung nasi pecel lengkap dengan es tehnya. Setelah selesai dari sana barulah kami berziarah.
Selepas berziarah membacakan doa dan tahlil di maqbarah masyayikh Tebuireng kami pun mulai menuju kios marcendise yang berada di lorong menuju makam. Ketika beberapa teman sudah asyik di dalam kios dan memilih kaos-kaos saya justru duduk santai di pojokan sambil memfoto beberapa tokoh Tebuireng yang terpampang di dinding. Di sana saya melihat ada seorang ibu paruhbaya yang asyik mengaji. Tanpa sengaja ketika menghindari kerumunan para peziarah saya lalu duduk di dekat kursi sang ibu.
Melihat ada orang mendekat akhirnya sang ibu pun menghentikan bacaannya sejenak. Kami pun malah terlibat dialog. Sang ibu itu pun langsung menoleh ke arah saya dan menanyakan asal. Setelah itu sang ibu memberikan sejumlah uang pada saya. Saya pun bingung antara menerima uang tersebut atau tidak. Yang jelas kata si ibu bahwa uang tersebut adalah halal dan memang setiap ada orang di dekatnya ia langsung memberinya uang. Kata si ibu jika melihat anak seusia saya ia teringat cucunya, jika melihat bapak-bapak sepuh ia teringat suaminya. Daripada penasaran saya pun langsung bertanya pada si ibu apa dan sedang apa di sini.
Akhirnya beliau bercerita bahwa dulu almarhum suaminya sangat mengidolakan Gus Dur. Akan tetapi sangat disayangkan sampai Gus Dur wafat, suaminya pun belum sempat bertemu. Kata si ibu selama hidup suaminya pun baru tahu bahwa Gus Dur adalah tokoh besar, guru bangsa yang berasal dari Jombang. Katanya ia juga tidak tahu bahwa Nurcholish Madjid dan Emha Ainun Najib adalah warga Jombang. Entah bagaimana ceritanya yang jelas sebelum meninggal suaminya berpesan untuk dihadiahkan bacaan Qur'an di dekat makam Gus Dur.
Jadi kata si ibu setiap akan mengkhatamkan Qur'an ia meminta anaknya untuk diantarkan ke lorong dekat makam itu. Sehingga apa yang ia lakukan sampai detik ini adalah bagian dari bukti cintanya pada sang suami. Bacaan Qur'an itu tak lain adalah nadzar sang suami untuk Gus Dur sosok yang diidolakan akan tetapi belum sempat bertemu. Bagi si ibu mengkhatamkan Qur'an di sana adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Hingga tulisan ini dibuat saya belum sempat berkunjung kembali ke Jombang. Entah apakah sang ibu masih ada atau telah menyusul suami dan Gus Dur. Saya juga tidak tahu karena pada saat itu hampir 2 tahun lebih dunia diterpa pandemi. Dan bodohnya saya tidak sempat menanyakan siapa nama beliau dan mana alamat rumahnya. Yang jelas pasti beliau orang sekitar Tebuireng dan memang tidak jauh dari pondok di mana Gus Dur disarekan.[]
the woks institute l rumah peradaban 18/12/22
Komentar
Posting Komentar