Langsung ke konten utama

Catatan Ziarah Bung Karno bersama Abah




Woks

Kemarin sore ba'da dzuhur saya diajak Abah bersama beberapa santri untuk ziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Sontak saja saya mengiyakan dan langsung ikut dalam rombongan. Perjalanan kami disupiri olehas Rama santri asal Jombang. Rute yang kita tempuh adalah Tulungagung lewat Ngantru, melewati Jembatan Wijaya Kusuma (JWK) Ngadiluwih langsung menuju Pondok Ploso.

Di sana kami berhenti sejenak untuk menjemput Gus Abid, putra Abah. Ketika sudah siap kami pun langsung meluncur menuju makam auliya Tambak. Di sana kami langsung berziarah di hadapan maqbarah KH. Chammim Djazuli atau Gus Miek. Saya sedikit kaget karena tepat di barat maqbarah Gus Miek ada makam baru yaitu cucu buyut Gus Miek bernama Ning Ayyara Sholihin Quraisyin. Tentu makam tersebut adalah kehilangan yang sangat mendalam bagi keluarga.

Singkat kisah setelah kami berziarah saya diam sejenak untuk juga berkirim fatihah buat shohibul auliya yang ada di makam Tambak yaitu Syeikh Abdul Qodir Khoiri bin Ismail Iskandariyah, Syeikh Maulana Abdullah Sholih Istambuli, Syeikh Maulana Herman Arruman, KH. Ahmad Shidiq Jember, KH. Yusuf Blitar (Orator NU), Gus Muqarrobin Abdillah Rasyad (Qori Jantiko Pertama) dll. Setelah itu barulah kami meluncur ke Blitar sekitar pukul 15:30 wib.

Tepat pukul 16:30 di makam Bung Karno sang proklamator itu kami langsung menuju mushola untuk melaksanakan shalat asyar. Kebetulan untuk peziarah menunggu sejenak karena ada Wakapolda yang juga berziarah. Setelah usai barulah kami bersiap ziarah. Saya tidak sadar bahwa sejak tadi ada adik kelas jurusan Tasawuf Psikoterapi dan akhirnya kami bertegur sapa. Saya tidak sempat berkenalan dengan mereka cuma kita berfoto di akhir.

Setelah itu kami pulang menuju jalan yang di sepanjang mata dipenuhi penjual oleh-oleh khas tradisional. Dan kami santri kere ini tentu tidak tertarik membelinya karena tak punya uang. Hanya saja akhirnya kami membeli tahu kress Pak Seno yang tak lain bapak teman kami Mbah Huda. Langsung saja ketika kami bersalaman beliau memberikan gratis tahunya pada kami. Rasanya rezeki memang tidak ke mana. Setelah itu kami langsung menuju Masjid Agung Kota Blitar untuk shalat magrib berjamaah.

Sesudah shalat kami Jalan-jalan Malam (JJM) mengintari alun-alun. Di pojokan kami berhenti sejenak karena Bu Nyai membeli gorengan. Setelah itu barulah kami langsung tancap gas menuju Tulungagung walaupun sempat diwarnai insiden lupa jalan dan terjadilah bolak-balik seperti thawaf. Setelah ingatan Mas Supri kembali barulah akhirnya kami menuju Tulungagung dan sampai pondok sekitar pukul 20:00 wib malam.[]

the woks institute l rumah peradaban 17/12/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...