Langsung ke konten utama

PPHS : Pondoknya Para Pemimpin




Woks

Sejak tahun 2002 dalam catatan sebelum Pondok Pesantren Himmatus Salamah (PPHS) Srigading berdiri di sini masih disebut TPQ. Sebuah cita-cita dari pendiri (Haji Salim) bermula dari tempat mengaji biasa TPQ menjadi pondok. Tentu hal itu tidak berjalan mudah dan pastinya melewati banyak hal. Aral lintang dan tantangan zaman sudah pasti menanti. Akan tetapi atas keistiqomahan serta rasa percaya diri TPQ pun berubah menjadi pondok pesantren sewindu kemudian yaitu di bawah pengasuh Kyai Mohamad Sholeh.

Singkat kisah pondok pun berkembang dan telah melahirkan beberapa alumni. Walaupun pondok ini bernafaskan salafiyah akan tetapi alumninya beberapa justru banyak menjadi pemimpin. Saat ini di era milenium di tahun 2020 ke atas justru santri yang menjadi pemimpin semakin banyak. Entah apakah semua itu merupakan warisan masa lalu di mana pondok masih berupa kelas-kelas TPQ. Beberapa catatan santri TPQ awal pernah menjadi Presma IAIN Tulungagung (sekarang UIN) yaitu Mas Ismail bahkan kakak beliau Mas Nahru kini menjadi Lurah Desa Sumberdadi Sumbergempol.

Menarik ke era kekinian para santri juga banyak yang menduduki kursi kepemimpinan di kampus misalnya mereka menjadi ketua HMPS, Duta Kampus, Organisasi Ekstra, UKM, Organisasi Mahasiswa Daerah, Paguyuban Pondok Pesantren, IPNU, hingga Dewan Eksekutif tingkat Fakultas. Faktanya ternyata semua itu sudah ada embrionya sejak lama. Maka dari itu tidak aneh jika PPHS ini menjadi gudangnya para pemimpin. Entah apa yang mereka cari yang jelas sejak di pondok memang sudah diajarkan bagaimana cara memimpin salah satunya lewat acara-acara yang digelar oleh pondok.

Beberapa catatan saya sebagai santri insider yang selalu mengamati fenomena kepemimpinan di pondok setidaknya ada 3 hal yaitu : Pertama, para pemimpin belum bisa membawa nama baik pondok lebih lagi mereka yang tergabung dalam organisasi ekstra kampus. Selama ini pondok hanya menjadi tempat singgah dan belum diposisikan sebagai tempat menempa diri sekaligus menjaga nama baik. Kedua, para pemimpin belum mampu mensinkronkan antara waktu organisasi dan waktu di pondok. Selama ini kepemimpinan masih terasa timpang dan pondok selalu bukan menjadi hal yang utama. Dengan fenomena ini seolah-olah pondok hanya sebatas tempat singgah belaka. Ketiga, para pemimpin itu masih memiliki ego sektoral di mana pondok dipaksa untuk memahami posisi mereka. Padahal kuncinya sederhana yaitu yang minoritas menghormati dan mayoritas memahami. Jika keduanya berjalan baik maka antara kepemimpinan di luar dan di pondok dapat berjalan harmonis.

Pesan dalam catatan ini adalah bahwa kita adalah pemimpin minimal bagi diri sendiri. Memimpin atau dipimpin intinya adalah bagaimana memposisikan diri untuk bersikap dewasa, bijak dan saling menghormati. Dengan begitu ada serangkaian keputusan yang tentu berjalan dalam rangka mencari maslahah bukan sebaliknya, menang-menangan.

the woks institute l rumah peradaban 15/12/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...