Langsung ke konten utama

Obituari: Ustadz Sama' Sang Penyabar




Woko Utoro

Beberapa hari badan saya memang begitu kurang fit. Maklum saja transisi musim selalu tidak bisa ditebak. Terlebih soal kesehatan kita perlu protektif ekstra. Tapi kadangkala kondisi tubuh sekaligus membawa pesan sesuatu tentang perasaan. Benar saja saya dikabari bapak jika Ustadz Sama' meninggal sekitar seminggu lalu.

Ustadz Sama' atau saya sering memanggil beliau A Sama' adalah guru ngaji di kampung halaman. Beliau meninggal tepat seminggu setelah ibunya yaitu Mimi Tulus juga berpulang. Kata bapak saya A Sama' meninggal di Bekasi setelah beberapa waktu juga tak sadarkan diri. Jika saya lihat di laman Facebook beliau, A Sama' seperti mengidap penyakit di bagian kepala. Selebihnya Wallahu Alam, saya tidak tahu banyak hal.

Yang jelas sependek pengetahuan saya. A Sama' meninggalkan satu istri dan 3 anak. Istrinya sholihah, penyebar dan anak-anaknya luar biasa terutama yang saya tahu anak pertama yaitu Mba Nissa. Di Bekasi A Sama' berniaga sambil beternak burung berkicau seperti perkutut, pentet, dara dll.

Ketika saya dikabari berpulangnya A Sama' tentu hal pertama yang harus diingat adalah jasa besarnya buat saya. Ya, beliau adalah guru kedua setelah bapak yang mengajarkan membaca alif, ba, ta sampai saya lancar membaca al Qur'an. Seingat saya dulu di Mushola Al Hikmah sekitar tahun 2000 sebelum kami masuk sekolah dasar. Di sore hari A Sama' mengajar ngaji anak-anak kecil (ta'limu sibyan).

A Sama' merupakan santri pertama bapak Fauzi Rais. Hingga karena kesibukan akhirnya A Sama' lah yang meneruskan pengajian bersama anak-anak. Di sinilah saya ingat jilid 1-6 Iqra karangan KH. As'ad Humam asal Kotagede Yogyakarta dikhatamkan bersama beliau. Saya ingat betul betapa A Sama' sabar dan telaten dalam mendidik anak-anak. Untung saja saya bukan tipe anak yang neko-neko sehingga jarang membuat beliau marah. Cuma jika sudah berurusan ketegasan A Sama' juga bisa memarahi kami.

Untuk ukuran saat itu pengajaran gaya A Sama' sangat bisa dimaklumi. Terlebih kepada santri yang tidak bisa diatur. A Sama' juga tidak banyak memberikan kata-kata motivasi seperti motivator era kekinian. Beliau hanya fokus mengajari anak-anak tahap demi tahap lalu berdoa. Karena bisa dibayangkan pada saat itu A Sama' mengajar seorang diri. Selepas ashar bahkan sampai menjelang magrib jika santri masuk semua. Baru di akhir-akhir beliau dibantu santri senior.

Hingga banyak dari anak-anak didik A Sama' sudah sekolah formal dan remaja. Akhirnya beliau hijrah ke Bekasi hingga menetap di sana. Sejak saat itu dan hingga berita berpulangnya saya sempat bertemu beliau 2 kali. Saat itu A Sama' main ke rumah dan saya berpapasan di jalan depan rumah beliau. Saya pun sempat bersalaman dan ternyata tangan beliau masih tetap sejuk sejak dulu hingga kini.

Saya yakin beliau husnul khatimah. Salah satu jariyah beliau adalah mengajar ngaji anak-anak, menghafalkan pujian setelah adzan dan kadang memberi kami jajan. Semua dilakukan gratis tidak dipungut biaya. Karena memang semua santri adalah anak-anak tetangga mushola.

Saya tidak peduli berapa anak didik A Sama' yang ingat jasa besar beliau hingga kini. Yang jelas hari ini lewat tulisan kecil ini saya bersaksi A Sama' orang baik. "Ya Allah jika bacaan Qur'an saya entah dalam harian maupun shalat ada berkahnya tentu semua berkat A Sama'. Jika pun bacaan Qur'an saya ada pahalanya, Ya Allah perkenankan hadiah pahala tersebut buat guru kami Ustadz Sama' bin Rasyim." Semoga beliau ditempatkan di tempat yang mulia. Lahul Fatihah.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...