Langsung ke konten utama

Pangkal Rezeki Adalah Bersyukur




Woko Utoro

Salah satu hal menarik menjadi pembahasan selain jodoh adalah rezeki. Walaupun jodoh juga merupakan bagian dari rezeki yang patut disyukuri. Tapi dalam tulisan ini kita akan membincang rezeki. Di mana istilah rezeki begitu sulit dipahami dalam makna praktis. Bahkan lebih seringnya disalaharti.

Soal rezeki memang unik. Saking uniknya kita hanya menduga-duga. Terkadang apa yang dipikirkan justru tidak sesuai dengan realita. Hal menarik soal rezeki salah satunya seperti rumus paradoks atau tidak ada yang pasti. Akan tetapi rumus dasar awalnya sesuai kehendak Allah bahwa rezeki itu sudah pasti. Bahwa rezeki itu sesuai takarannya. 

Ada prinsip yang mengatakan bahwa orang banyak rezeki adalah karena harta melimpah. Padahal tidak sedikit orang kaya harta justru tidak mendapat ketenangan dari hartanya. Jika kekayaan pangkalnya jabatan tentu orang terkaya adalah presiden. Faktanya gaji presiden tidak lebih banyak dari pengusaha. 

Jika kekayaan harus menduduki posisi tertentu faktanya tidak sedikit anak raja yang tidak menyukai kehidupan kerajaan. Ada juga orang berharta harus cek in bolak-balik ke hotel demi bisa tidur nyaman. Sedangkan orang miskin tidur pulas walaupun hanya berbantal kardus. Ada juga orang yang bisa membeli segala jenis menu makanan. Tapi kadang terkena larangan dokter untuk makan makanan tertentu saja. Di sisi lain ada orang makan hanya kangkung tapi nikmat nya luar biasa. 

Dari beberapa contoh tersebut jelas kita belajar tentang sebuah prinsip. Tentang sebuah sudut pandang esensi atau nilai. Bahwa kekayaan bukan terletak pada jabatan. Karena menjadi apapun tanggungjawab nya sama. Bahwa posisi apapun semua sama dalam pandangan Nya. Bahwa hotel, kasur empuk maupun fasilitas lain prinsip nya adalah kantuk dan ketenangan. Bahwa makan itu bukan menu atau harganya melainkan kemampuan untuk menikmati dan mensyukuri. 

Kemampuan bersyukur itulah sesungguhnya yang mahal harganya. Karena rezeki itu tidak harus berupa nominal, angka maupun materi. Bahwa rezeki itu hal terpenting adalah esensi, kemampuan merasakan. Kemampuan untuk puas dan bersyukur atas segala pemberian. Karena al Qur'an jelas mengatakan jika banyak bersyukur akan ditambah rezekinya. Sebaliknya jika kufur nikmat maka azab akan terasa pedih. Jadi jelas bahwa rezeki itu bukan besar kecil, bukan banyak sedikit. Tapi keberkahannya alias kebermanfaatan nya.[]

The Woks Institute|rumah peradaban 25/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...