Langsung ke konten utama

Belajar Kepada yang Telah Mati


Woks

Sebagai mahluk pembelajar manusia memang punya tingkah unik. Mereka ternyata belajar kepada siapa saja dan apa saja. Maka jelas hasil produk berpikir manusia adalah kebudayaan. Manusia selalu memiliki ide kreatif untuk menyelesaikan segala macam perkara. Terlepas bagaimana cara mereka menempuh penyelesaian itu. 

Kadang saat tertimpa masalah orang hidup mudah berpikir mati saja lebih baik, sebab dengan mati mereka akan melupakan segala masalah. Padahal tidak demikian. Justru baik hidup atau mati semua menghadapi masalah yang baru. Maka dari itu lebih baik kita belajar kepada siapa saja tentang banyak hal termasuk kepada mereka yang sudah mati. Dalam sebuah catatan Prof Nasaruddin Umar menulis bahwa Ibnu Arabi' pernah berkata bahwa "sungguh miskin orang yang hanya belajar kepada yang hidup saja". Dari fenomena itulah kita juga tahu bahwa Imam Ghazali sering mengkonfirmasi hadits-hadits kepada Rasulullah saw padahal beliau telah wafat lama, termasuk Ibnu Sina ketika ia kebingungan dalam menghafal dan mengujicoba rumus dan teori-teorinya.

Bagaimana kita dapat belajar kepada yang telah mati. Apakah hal itu bisa terjadi, bukankah alam kita telah berbeda. Memang benar tidak semua orang mampu mengakses kehidupan di alam yang berbeda itu. Akan tetapi setidaknya kita dapat mengerti tentang orang mati dan kematian itu sendiri. Sebuah fenomena yang banyak mengandung misteri, di mana, kapan, dalam keadaan apa semua tak ada yang tahu.

Kematian justru awal dari sebuah kehidupan. Termasuk mati adalah suasana seperti pengantin, begitu kata Rumi. Bahkan pepatah Jawa sering mengingatkan tentang "mati sakjroning urip" bahwa ada kehidupan dalam kematian dan sebaliknya ada kematian dalam hidup. Hal ini percis seperti penimba ilmu dan kebermanfaatan hidup. Filosofinya orang yang bodoh ibarat mayat hidup yang berjalan di atas bumi dan orang berilmu ibarat orang yang terus hidup padahal jasadnya telah terkalang tanah sejak lama. Hal itulah yang disebut kebermanfaatan akan ilmu dan amal sholeh. Termasuk mereka yang mati meninggalkan karya yang hingga hari ini terus hidup. Maka tak salah jika para penulis akan lebih lama abadi ketimbang jasadnya.

Fenomena kematian sampai hari ini masih akan terus menjadi misteri. Bahkan saking tidak inginya mati kalangan ilmuan berlomba-lomba menciptakan alat yang dapat menyangga kehidupan agar lebih lama. Nyatanya semua itu belum juga membuahkan hasil. Lantas apa pula yang dapat kita pelajari dari mereka yang telah tiada. 

Pertama, kita jelaskan bahwa manusia hidup lebih menyeramkan dari pada mereka yang telah mati. Mengapa bisa begitu, karena orang hidup bisa melakukan apa saja. Mereka ada yang merampok, korupsi, merundung, ngebom, bergosip, menyakiti liyan, hingga pembunuhan. Lalu kategori apalagi selain kejam bagi mereka yang masih hidup. Kadang kala orang hidup lupa mereka terlalu mudah terlena, bertindak sewenang-wenang, maunya menang sendiri, menghalalkan segala cara, penuh tipu daya, propaganda, intrik busuk dan lainya. Tapi lihat orang mati, mereka diam saja. Saat terpisahnya ruh dan jasad saat itu juga tak ada lagi gerak. Orang mati lebih mudah dikendalikan dari pada yang masih hidup.

Kedua, selama ini kita telah dibohongi ada orang mati yang menghantui, atau bahkan membunuh. Stop, kita memang telah terframing media dengan segala macam sebutan Hantu, Setan, Banaspati, Kuntilanak, Genderuwo, Tuyul, Wewegombel, Sundelbolong, Mak lampir, dan lainya. Bukankah yang ada hanya pocong, di mana saat anak Adam meninggal terputuslah segala amal kecuali tiga perkara, doa anak sholeh, sedekah jariyah dan ilmu manfaat selebihnya kita akan dibungkus kain kafan. Istilah dalam macapat Jawa yaitu pocung, kondisi di mana seseorang telah dipocong. Malah kondisi terbalik, justru yang lebih banyak menghantui adalah mereka yang hidup dengan menebar berita hoax, teror, caci maki, saling hujat, catcalling, mencaplok lahan dan perumahan, memakan aspal dan jalanan serta lainya.

Ketiga, kita belajar tentang sebuah ajaran thariqat dalam sebuah ke-sufian. Di mana saat mengenal guru dan murid kita ibarat jasad yang siap menerima apapun dari guru. Laiknya jasad asli seorang murid harus tunduk patuh dengan apa yang diperintahkan guru. Sebab sifat guru adalah pembimbing maka murid hanya perlu ikut dan tidak boleh membantah. Dalam tradisi thariqat sebagai jalan menempuhan ruhani guru berhak memberikan petunjuk kepada murid sesuai dengan amaliyah sufiyah yang akan diamalkan. Ketika murid sudah sampai maqom tertentu maka sang guru berhak meneruskan pelajaranya hingga wushul ilallah.

Keempat, orang mati sebenarnya tidak mengajarkan mati tapi, meminjam bahasa Gus Dur "pulang". Kematian bagi Gus Dur adalah pulang ke tempat asal sehingga saat kondisi itu tiba kita tidak perlu merasa kehilangan berlebihan sehingga meratapinya. Dalam bahasa Rumi kematian jangan disesali tapi dirayakan, maka tak usahlah menangis. Karena mati adalah pulang maka orang mati sesungguhnya kembali ke rumah asalnya. Orang Jawa sering menyebutnya "wong urip mung mampir..." sehingga waktu yang singkat itu mengharuskan manusia kembali.

Kelima, orang mati adalah simbol kepasrahan. Fase di mana akan menghantarkan ke stasiun akhir tempat manusia di hisab di akhirat. Pasrah dalam artian tidak bisa menolak saat Izrail datang, tidak bisa bersembunyi walau di lobang semut sekalipun. Kepasrahan itulah yang menjadikan manusia tersadar bahwa mereka mahluk yang lemah. Dan masih ada dzat yang maha perkasa yaitu Allah swt. 

Sebelum dan sesudah masa pandemi kematian menjadi bumbu sehari-hari. Kita tidak lepas dari kabar duka yang selalu menyelimuti mulai dari kematian orang alim, publik figur, dokter, pejabat hingga orang biasa semua telah dalam catatan Nya. Lantas saat ini apa yang kita persiapkan untuk bersua kekasih? selain amal dan keridhoanNya.


Komentar

  1. Trimakasih ilmunya pak, sekiranya perlu belajar pada yang sudah tiada....

    BalasHapus
  2. Sebaik-baik peringatan dan pembelajaran adalah tentang kematian.
    Semoga tidak mudah terlena dgn kehidupan dunia yg fana.
    Terima kasih mas.

    BalasHapus
  3. Terima kasih. Sungguh jadi alarm yang begitu nyaring di hati. Tentang kehampaan bekal untuk berpulang.

    BalasHapus
  4. Terimakasih semuanya. Semoga kelak kita bisa mati dalam husnul khatimah. amiin

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...