Langsung ke konten utama

Jurnalistik Madrasah Sebagai Kanal Kreativitas Siswa


Woks

Apa kabar Mading alias majalah dinding? mungkin telah lama kita tidak menjamahmu. Untuk sekedar menghilangkan debu pada kaca, atau mengganti beberapa brosur dan beberapa gambar pada kertas yang semakin usang pun kami tak sempat. Mungkin itulah sekelumit coletahan salah satu siswa saat melihat keadaan Madingnya yang kian hari semakin tak terurus. Bicara Mading tentu kita akan tertuju pada salah satu dari produk jurnalistik tersebut. Bahkan saat mendengar kata Mading kita akan diingatkan sejarah tentang Acta Diurna di era kekaisaran Julius Caesar sekitar 100-44 SM. Acta Diurna merupakan papan informasi sejenis majalah dinding, pusat di mana orang-orang Romawi pada saat itu mengakses informasi. Dalam sejarah Acta Diurna tersebut dianggap sebagai produk jurnalistik pertama karena menyampaikan kabar kerajaan kepada masyarakat.

Sebelum mengenal istilah jurnalis atau profesi kewartawanan sebenarnya sejak di madrasah kita pernah dikenalkan dengan sebuah skill bernama jurnalisme. Kemampuan tersebut mengajak siswa untuk mempublikasikan hasil kreativitasnnya baik dalam bentuk cetak maupun skill lainya. Kita tahu bahwa jurnalistik adalah sebuah kemampuan untuk mengolah berita dengan cara mencari, menulis, menyunting, mencetak dan menyebarluaskan. Kegiatan tersebut tentu sangat erat kaitanya dengan tugas wartawan sebagai juru bicara masyarakat dan dunia. Mereka akan terus bergelut dengan sumber informasi serta mengabarkannya dengan berbagai media. Sampai hari ini media penyebaran itu tidak hanya melalui cetak seperti koran, buletin, majalah, dan tabloid melainkan merambah ke radio, televisi bahkan makin berjamurnnya media online.

Jika kita anak organisasi mungkin paham bahwa ilmu jurnalistik sebenarnya telah ada di bagian humas (hubungan masyarakat). Mereka akan menyampaikan dari gagasan satu ke pemikiran lainya dengan sebuah informasi yang telah diolah. Maka dari itu skill tersebut sangat penting untuk bekal siswa dalam menghadapi arus informasi yang semakin tak terbendung. Jurnalistik madrasah diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana penguat program literasi. Selain itu program tersebut sesungguhnya menjadi bagian tak terpisahkan dari keilmuan marketing dalam rangka personal branding. Artinya siswa dan sekolah bisa berkolaborasi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikannya.

Mengapa kemampuan jurnalistik ini penting untuk ditingkatkan kembali, tak lain karena kita berusaha agar pengetahun akan local wisdom tidak cepat punah. Dengan adanya kegiatan jurnalistik melalui segala macam programanya diharapkan dapat mencatat, menyimpan, dan mengarsipkan pengetahuan serta sejarah yang ada. Saat siswa sudah diberi kemampuan jurnalistik seperti baca tulis, memotret, dokumentasi video, mencari narasumber, wawancara, hingga publikasi tentu mereka akan terampil dalam mengekspresikan kegiatannya. Salah satu ekspresi itu biasanya dipublikasikan melalui media Mading dan buletin. Saat ini bisa sangat mungkin memanfaatkan media digital sebagai percepatan informasi dan inovasi.

Jurnalistik madrasah hadir tak lain sebagai upaya untuk mewadahi kreasi siswa, menyalurkan bakat, memupuk kecerdasan berpikir dan memahat cita-cita. Soal penyaluran bakat minat tersebut dirasa sangat penting sebab semakin hari siswa yang didominasi remaja sangat rentan terkena gejolak karena masa transisi. Maka dari itu harapan besarnya kegiatan jurnalistik dapat membawa mereka ke arah yang lebih positif. Lebih jauhnya kita mencoba untuk menggagas program jurnalistik madrasah sebagai media siswa berkreasi di antaranya (pen):

Bu-book
Kegiatan ini adalah buka buku kita alias membincang buku. Kegiatannya bisa seminggu sekali disesuaikan dengan jadwal. Kupas buku tersebut bisa dijadwal sesuai dengan genre dari si pembahas buku. Buku yang dibedah bisa apa saja sesuai dengan kesepakatan bersama. Tujuan dari kegiatan ini yaitu mencoba lebih dekat lagi dengan buku tidak hanya sebagai sumber bacaan tapi sebagai sumber informasi dan jendela ilmu.

Tulas-tulis
Kegiatan ini adalah belajar bersama dalam hal menulis. Intinya seluk beluk dalam dunia tulisan dibahas dalam segmen ini. Pembelajaran dalam dunia tulis ini disesuaikan dengan jadwal. Apa saja ditulis sesuai dengan keinginan. Bisa saja minggu ini kelas menulis sastra, minggu esok kelas esai dan opini serta banyak lagi. Perihal menulis tentu tidak bisa dipisahkan dalam dunia jurnalistik. Ia seperti mata uang yang sangat penting termasuk juga membaca.

Donasi Tulisan
Kegiatan ini seperti halnya penggalangan dana. Bedanya kita membutuhkan donasi tulisan. Tulisan tersebut bisa dari siapa saja tanpa pernah melihat strata sosial, khususnya dari guru, staff, alumni dan siswa. Tujuanya adalah penguatan literasi sebagai sebuah metode bahwa ilmu itu tidak eksklusif. Siapa saja bisa berperan aktif dalam menyampaikan gagasanya sekalipun ia tengah berada jauh dari suatu tempat. Inilah yang disebut sebagai membangun pondasi literasi yang kuat. Genre tulisanya bisa apa saja, yang terpenting mengandung unsur religius, informatif, edukatif dan berbudaya. Maka melalui kegiatan ini besar harapan untuk dapat melihat sejauh mana kita dapat mewadahi segala macam bentuk pemikiran.

Tokoh Kita
Kegiatan ini sama seperti merekam jejak tokoh utamanya para muassis Yayasan Nurul Hikmah. Metodenya salah satunya menggunakan tulisan atau video dokumenter. Kegiatan ini sangat penting karena kiprah seperti KH Mukhtar Dahlan, KH Sutardjo, KH Damanhuri Ali, KH Mundzir Mahmud, KH Hafidz Baehaqi dan tokoh lainya sangat perlu dibagikan ke muka umum sebagai teladan kita selaku siswa. Kiprah dan jejak langkah mereka sangat layak untuk diabadikan dalam sebuah narasi agar kelak para penerus di Yayasan Nurul Hikmah ini bisa terus ingat jasa besar mereka. Kegiatan ini bisa dilakukan oleh siapa saja terutama mereka yang bergelut di bidang penulisan sejarah. Bisa juga melibatkan kawan-kawan di berbagai organisasi seperti Osis, Pramuka dan IPNU-IPPNU.

Talks Show Literasi
Kegiatan ini seperti bincang atau diskusi pada umumnya. Yaitu kegiatan yang mendiskusikan banyak hal termasuk kajian, pengajian kitab, acara seminar, motivasi, pidato, acara keagamaan dan lainya. Narasumber bisa diambil dari rekan kerja, alumni atau siswa yang memiliki keunikan baik dalam bidang prestasi akademik maupun usaha ekonomi dan pemberdayaan.

Jurnalisme Warga
Kegiatan yang bertujuan mendokumentasikan baik dalam bentuk audio visual maupun tulisan. Salah satu topik menarik tentang jurnalisme warga ialah seputar sejarah, misalnya sejarah Haurgeulis, Gantar, Sumur Jalatunda, Banyu Urip, tradisi nyapu receh jembatan Sewo, kirab budaya santri dan lainya. Diharapkan melalui kegiatan tersebut kita turut andil dalam mengarsipkan kekayaan local wisdom. Kearifan lokal masyarakat begitu kaya dan berharga maka sudah selayaknya kita turut melestarikannya.

Program-program lain sebagai penguat jurnalistik madrasah bisa terus dikembangkan. Hal itu bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman serta minat bakat siswa. Program lanjutan tentu sangat baik dipersiapkan sejak dini sebab semakin hari kemampuan berliterasi terutama di abad 21 akan semakin berkembang. Saat ini kita hanya perlu melihat pasar apa saja yang harus kita lihat sebagai peluang dan inilah tantangan kita bersama sebagai pengelola pendidikan.

*Tulisan ini diterbitkan juga di blog MA Nurul Hikmah Haurgeulis Indramayu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...