Langsung ke konten utama

Membangun Sekolah Berbasis Literasi


Woks

Bicara pendidikan tidak terlepas dari dunia literasi sebagai salah satu jalan mengentaskan problematika dasar seperti belum mampunya membaca dan menulis. Sejak di sekolah dasar tanpa disadari kegiatan literasi telah berjalan. Akan tetapi sejak digulirkanya sistematika pendidikan sampai hari ini kita masih berkutat dalam ranah baca tulis bahkan lebih jauh tertinggal dari pendidikan di negara lain.

Seperti yang telah diulas dalam beberapa artikel sebelumnya, kita memang masih terjebak dalam lingkaran literasi dasar seperti kemampuan baca tulis. Walaupun kabar bahagianya kini sudah sangat sulit ditemukan ada orang yang masih buta aksara. Hampir mayoritas dari jumlah penduduk Indonesia terbukti angka buta aksara telah ditekan jauh. Menurut United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2014 mencatat bahwa tingkat buta aksara masyarakat Indonesia dapat ditekan hingga 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Hal itu karena upaya akses pendidikan seperti keberadaan sekolah, guru, buku, dan sarana penunjang lain telah hadir hingga ke pelosok negeri. Akan tetapi tantangan yang masih dihadapi saat ini adalah ketersediaan buku yang belum merata di hampir seluruh
wilayah Indonesia serta rendahnya motivasi dan minat baca peserta didik. Maka dari itu kita saatnya open minded untuk meneruskan program lanjutan. Terutama program-program untuk meningkatkan sumberdaya manusia.

Seperti yang telah disinggung pada bagian pentingnya literasi di sekolah, kini saatnya setiap instansi sudah masuk ke era literasi digital dan teknologi. Sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan tentu menjadi wadah menempa peserta didik agar mampu mengolah informasi dengan baik. Maka dari itu dewasa ini dari setiap jenjang pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi telah mengembangkan varian programnya tersendiri. Sebut saja program ilmu tarbiyah, program tahfid al qur'an, program teknologi & bahasa dan tak ketinggalan sekolah berbasis agama, karakter serta literasi.

Program-program yang telah ada dapat dimodifikasi berdasarkan standar pendidikan serta sesuai konteks kebutuhan masyarakat. Selama ini program pendidikan kaum urban lebih memilih pendidikan berbasis keagamaan, sebut saja sekolah dengan basis agama, tarbiyah dan Qur'an. Sekolah dengan program unggulan tersebut menjadi laris manis di tengah dekadensi moral yang mengkhawatirkan. Tentu analisis ini menjadi peluang bagi setiap pelaku atau pemangku kebijakan agar dapat mewadahi peserta didik sesuai dengan perkembangan zaman.

Bagi daerah pedesaan mengenal sekolah berbasis literasi mungkin terkesan aneh bahkan memang belum kenal sama sekali. Saat pertama kali sekolah dimasuki teknologi pun mayoritas orang desa kewalahan, sebab mereka belum mampu melek literasi sejak awalnya. Kebanjiran informasi dan pengetahuan melalui media memang suatu keniscayaan. Sehingga semua tidak bisa ditolak, maka dari itu tidak aneh jika orang tua selalu lebih tertinggal dari perkembangan anaknya yang begitu pesat.

Pada tahap selanjutnya jika ditanya, apakah MA Nurul Hikmah ini akan menjadi salah satu sekolah berbasis literasi tentu jawabanya tergantung kebijakan dari siempunya kewenangan. Dalam hal ini adalah kepala sekolah, komite dan ketua yayasan. Sebab apapun coraknya yang jelas program pendidikan adalah satu dari sekian senjata yang dapat menarik simpati peserta didik dalam mengembangkan potensinya. Saat ini potensi saja tidak cukup maka perlunya pengembangan kompetensi seperti di sekolah kejuruan dengan teknik mesin, kesehatan, komputer, akuntansi, tata boga dan keahlian lainya. Semua itu disesuaikan dengan visi misi instansi tersebut yaitu mencetak generasi unggul siap kerja. 

Baik di sekolah negeri maupun swasta, kejuruan, menengah ataupun madrasah sebenarnya tidak jauh berbeda jika kaitannya dengan literasi. Sebab Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah dikembangkan sejak lama. Hal itu berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang GLS sebagai penumbuhan budi pekerti. Dari cita-cita Kemendikbud itulah kini kita tahu bahwa muara dari pembelajaran model apapun adalah moralitas. Sebab tanpa adanya moralitas manusia hanya menjadi mahluk amoral, maka pantas akhlak atau budi pekerti yang baik adalah risalah para Nabi untuk diamalkan oleh setiap umatnya.

Bangunan sekolah berbasis literasi sebenarnya telah bergulir sejak 2016, namun hingga kini masih belum terlihat dampak atau hasilnya. Hal itu karena gerakan ini masih dalam tahap koordinasi dan sosialisasi. Maka pantas jika dari Kementrian Pendidikan berharap lebih pada gerakan ini untuk dapat membumi. Bagi kalangan akar rumput tentu masalahnya selalu melihat ke atas, sehingga tidak aneh jika gerakan nasional di Indonesia begitu sangat sulit jika tidak dimulai sejak dini. Padahal gerakan ini perlu upaya integrasi efektif dari semua pihak.

Jika permasalah literasi dasar seperti baca tulis belum juga kelar tentu kita masih memiliki seabreg tugas menuju literasi dasar yang lain seperti kemampuan numerasi, sains, digital, finansial, budaya dan kewarganegaraan sebagai kecakapan di abad XXI. Menurut Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Hamid Muhammad, P. hD mengatakan bahwa seharusnya kemampuan literasi dasar tersebut telah dikuasai oleh semua komponen disatuan pendidikan. Karena hal itu adalah komponen penunjang kompetensi di abad 21. Jika mayoritas di satuan pendidikan dapat memahami akan arti pentingnnya memiliki kemampuan tersebut maka kita akan optimis dapat mencetak kader tangguh penerus estafet kepemimpinan bangsa.

Saat ini dalam sektor apapun sebenarnya sedang berpacu dengan waktu. Maka dari itu seyogyanya kita terus meningkatkan kinerja sekaligus membantu pemerintah dalam mengelola informasi tersebut. Sebagai negara berkembang tentu kita masih berproses menunggu sekaligus berharap generasi mendatang akan mampu dilahirkan dari sekolah-sekolah produktif. Lembaga yang benar-benar telah menempa peserta didik tidak hanya sekedar label, melainkan mampu menjawab tantangan zaman. Semoga.


*Tulisan ini diterbitkan juga di blog MA Nurul Hikmah Haurgeulis Indramayu



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...