Langsung ke konten utama

Literasi Ngalor-Ngidul


Woks

Membahas tentang literasi memang tak akan berkesudahan. Karena aspeknya teramat luas maka dunia literasi memang tak ada ujungnya. Ibarat rasa ia tak ada habisnya di lidah, selalu bergoyang. Tapi harus diakui bahwa literasi yang selama ini kita pahami adalah tentang baca tulis, mengolah informasi, dan memublikasikannya. Padahal sesungguhnya literasi adalah sebuah cara untuk membuat masyarakat yang literat. Masyarakat literat bermakna masyarakat yang beradab, artinya manusia yang telah bertindak berdasarkan moralitas bukan emosional. Dari sini kita paham jika orang mudah marahan, ngambekan, ngamukan maka ia ciri-ciri orang yang tidak literat.

Saat kawan-kawan dari Bambu Pena Haurgeulis meminta saya untuk mengisi bincang seputar literasi maka yang saya lakukan adalah memberi pemahaman bahwa literasi itu luas. Persoalan baca tulis memang pokok tapi sebenarnya ada tujuan lain dari literasi itu sendiri yaitu memperluas cara pandang dengan melihat masyarakat secara faktual. Selama ini masyarakat terutama di kultur pedesaan tentu masih sangat awam terhadap literasi, padahal jika paham pastinya literasi akan digeluti. Maka dari itu peran anak muda sangat penting dalam mengembangkan dan membuat iklim literasi dapat diterima di tengah-tengah masyarakat.

Saya melihat bahwa potensi lokal untuk menjadi bahan kajian sangat diperlukan pengkajiannya termasuk bagaimana cara merawatnya. Di sinilah perlunya sebuah komunitas pergerakan untuk membuat gerakan sosial melalui buku & baca, menulis & diskusi sebagai gerak intektual dan aplikatif pengabdian sebagai gerak spiritual. Jika hal tersebut diperhatikan maka kita semakin yakin bahwa memang masyarakat perlu pencerahan terkait pentingnya literasi dan pendidikan.

Saya melihat bahwa terutama (tentang menulis) sangat perlu dibangun sejak dini. Karena kelemahan komunitas literasi adalah ketidakmauan untuk menulis alias mengabadikan momen lewat media kata. Alasan sederhananya karena menulis itu tidak wajib atau dalam bahasa lain ada ekspresi diri yang tidak harus dengan tulisan. Walaupun demikian saya tetap setuju bahwa orang lain bisa mengenal kita lewat tulisan. Menulis seperti menjadi ruh atau gerak juangnya. Jika kita mengklaim menjadi penggerak literasi maka output paling sederhana adalah tulisan.
Saya secara pribadi masyarakat sudah mau tertarik dengan membaca saja sudah sangat bagus. Sebab rasa ingin tahu itu mahal harganya. Lebih dari itu ketika imajinasi telah bermain maka selanjutnya adalah keinginan untuk menulis. Soal ini kadang saya berpikir ekstrim bahwa aktivitas menulis merupakan warosatul ulama sebab mereka tahu para nabi, filsuf, sufi dan orang terdahulu dari ulama. Bahkan menurut saya aktivis literasi adalah malaikat yang diturunkan sebagai pesuruh Tuhan demi menjaga pengetahun di muka bumi. Termasuk mengapa Tuhan bersusah payah menurunkan kekasihnya para nabi jika bukan karena akhlak. Disinilah kita harus paham bahwa menciptakan masyarakat literat tak lain adalah manusia yang beradab.

Saya memang suka berpikir demikian karena anggapan kepercayaan diri. Jika tidak demikian kita hanya sekadar hidup biasa saja. Oleh sebab itu bijak bestari sering berpesan bahwa orang yang memperjuangkan kebenaran itu harus percaya diri yang berdasar ilmu bukan nafsu.

Ketika menulispun jangan sampai menulis karena hanya ingin dihargai tapi menulislah karena memang tidak ada alasan lain selain menulis itu sendiri. Darisanalah kita pahami bahwa untuk melakukan hal baik kita tidak perlu berpikir alasanya atau tendensius. Cukuplah lakukan saja, toh jangankan perbedaan yang jelas-jelas sudah benarnya seperti nabi masih ada saja yang tidak cocok alias suka protes. Lantas apalagi yang akan kita perbuat selain lanjut saja. Akan tetapi bolehlah saat kita berdoa sisipkanlah niat agar orang lain terketuk hatinya untuk ikut dalam gerakan literasi mencerahkan masyarakat.

Namanya juga literasi ngalor-ngidul jadi ya pembahasanya bisa kemana saja. Ini bisa jadi pertanda bahwa ilmu itu memang luas tersebar di mana saja sehingga kita hanya mampu mengaisnya satu persatu. Orang bisa saja ke barat mencari harta tapi mereka tak boleh lupa ke timur mencari ilmu. Sehingga kemanapun tempatnya yang jelas kita berniat untuk menebar manfaat. Berkontribusilah dalam bentuk apapun dengan versi kita, jangan takut salah apalagi dihakimi. Maju saja dan belajar tanpa kenal henti. Open minded lah terhadap hal-hal baru yang lebih selektif untuk diselami setelah itu sebarkan ke pelosok negeri. Mari kita ingat kolaborasi sabda Ibnu Arabi dan WS Rendra "Membaca keabadian mengukir pengabdian", begitu kata kang Mar'i.

the woks institute l rumah peradaban 7/01/20


Komentar

  1. Mantab kang, semoga benih-benih literasi njenengan senantiasa tertabur di manapun itu tempatnya.
    Sukses untuk semuanya.

    BalasHapus
  2. Hahaha, ini yang saya suka dari mu mas wok (gue suka gaya loe). Selalu ada cerita hari-hari mu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap pak PU, berceritalah alam adalah pendengar yang baik :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...