Langsung ke konten utama

Catatan Rihlah Ilmiah ke Surabaya




Woks

Pada Kamis yang lalu saya berkesempatan mengunjungi Kota Pahlawan, Surabaya. Tentu banyak kenangan yang tertambat di kota ini terlebih ke tempat tujuan utama yaitu UINSA Surabaya. Mungkin perjumpaan saya ke UINSA masih terhitung jari akan tetapi selalu saja melahirkan decak kagum terutama ketika melihat desain bangunan yang ikonik.

Saya berangkat pagi dari pondok menuju rumah Pak Fauzan (dosen saya) di utara Pondok Menara Al Fatah Mangunsari. Kebetulan hari itu adalah hajat beliau dan saya dimintai menemani. Singkat kisah ketika saya sampai di rumah beliau waktu begitu pagi. Akhirnya saya memberanikan diri mencari sarapan tak disangka ketika berbelok dari arah lampu merah Mangunsari ke arah timur ternyata sudah ada dua polisi sedang menunggu. Saya pun kaget lantas secara spontan langsung berhenti di salah satu warung. Kebetulan warung tersebut belum buka. Dan saya langsung saja pesan teh hangat serta beberapa roti dan kripik.

Sebenarnya pesan teh hangat tersebut adalah modus karena saya menghindar dari polisi. Jika saya terus bablas mungkin akibatnya lain lagi. Singkat kisah saya ke rumah Pak Fauzan dan di sana sempat menikmati secangkir kopi dan sarapan edisi kedua. Setelah itu barulah kami berangkat menuju Surabaya dengan lewat tol Jombang Kertosono. Sesampainya di exit tol Gresik kami berhenti sejenak untuk menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok bersama para santri Lirboyo dan Tebuireng yang akan berziarah dan sudah memadai areal rest area.

Singkat kisah selang beberapa jam kami sampi di Surabaya dan langsung menuju Masjid Ulul Albab UINSA. Di sana suasana gerimis sudah menyelimuti gedung-gedung twin tower yang khas. Kami pun langsung menuju lantai 3 dan Pak Fauzan langsung mengikuti ujian. Di sana saya berbincang hangat dengan Ibu Ummu Iffah yang ternyata istri dari Ustadz Khatib (guru saya di SDI Al Azhaar). Beliau juga ternyata seorang dosen di UIN SATU dan Universitas Terbuka (UT). Kebetulan kali ini beliau juga akan mengikuti ujian verifikasi naskah disertasi dengan topik pembahasan mengenai Syiah.




Tidak hanya itu yang spesial untuk saya adalah dapat berjumpa dengan Dr. Ainur Rofiq Al Amin alias Gus Rofiq. Beliau seorang dosen, mantan aktivis HTI sekaligus pengasuh Ribath Al Hadi 2 Tambakberas Jombang. Mengenai Gus Rofiq bisa dibaca di : http://wokolicious.blogspot.com/2023/03/bertemu-gus-rofiq-sang-pendekar-mantan.html

Kata Pak Fauzan tempat mu bukan di masjid melainkan di sini (maksudnya kantor). Kita akan ngalap berkah para dosen yang tak lain merupakan sosok para kiai. Singkat kisah ujian pun usai pukul 15:00 wib sejak jam 13:00. Kami pun langsung bergegas menuju masjid untuk melaksanakan shalat jama' takhir qashar dhuhur dan asyar.

Setelah shalat kami langsung bertolak dari UINSA tersebut. Kebetulan Ibu Ummu Iffah juga ikut pulang bersama rombongan kami. Sepanjang jalan tak hentinya perdiskusian mengenai disertasi saya dengar dengan nyaring. Sehingga dari sana saya mendapat banyak pengetahuan baru. Walaupun sepanjang jalan hujan deras akan tetapi perjalanan kali ini begitu menarik. Pasalnya saya secara pribadi banyak mendapatkan kejutan baru salah satunya pertemuan dengan orang-orang berilmu.

Terakhir sesampainya di Tulungagung akhirnya saya dan Pak Fauzan menepi sejenak di Masjid al Ikhlas Kepatihan untuk shalat magrib berjamaah. Setelah itu barulah saya pulang dan tak lupa kami berwisata kuliner di selatan Pondok Menara Al Fatah Mangunsari. Di sana ada pedagang sate lontong dengan bumbu kacang khas dan ternyata langganan mertua Pak Fauzan. Demikianlah kisah singkat nan sederhana yang saya lewati dan penuh makna. Semoga esok kita akan berjumpa lagi.

the woks institute l rumah peradaban 7/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...