Langsung ke konten utama

Masjid dan Komersialisasi Modernitas




Woks

Masjid adalah rumah ibadah umat Islam. Darinyalah Islam disimbolkan terutama dengan bulan dan bintangnya. Dulu masjid dibangun hanya dengan kayu kurma dan pelepah, daun kurma sebagai atapnya. Lalu seiring berjalannya waktu masjid berdiri kokoh dengan segala arsitekturnya. Sesudah material bangunan ditemukan seperti saat ini masjid paling mewah terbuat dari kayu jati atau susunan batu bata. Tapi saat ini dunia berkembang cepat masjid-masjid berhias bola lampu serta gaya berkelas elit berdiri di mana-mana.

Secara arsitektur masjid kini dibangun dengan baja, susunan besi, lapis marmer, atau seperti rumah kaca. Masjid gaya kontemporer berdiri kokoh bahkan mencakar langit. Fungsi masjid pun memiliki peran ganda tidak hanya sebagai tempat ibadah melainkan untuk kegiatan lain seperti peringatan hari besar Islam, perkumpulan, seminar, pengajian hingga kampanye. Ya demikianlah masjid dulu dan kini sudah berbeda.

Zaman Nabi Muhammad SAW, masjid dibangun atas dasar takwa. Sehingga seni dalam bangunan masjid masih belum dikenal begitu luas seperti saat ini. Hal itu pula sekaligus belajar bahwa dulu di era wali songo di Jawa khususnya, masjid dibuat secara sederhana. Bahan bakunya pun hanya dari tanah liat, beratap daun lontar atau susunan lempeng kayu-kayu jati sederhana. Atau beberapa dibuat dari saka guru, saka tatal dari kayu jati glondongan sehingga membuat bangunan menjadi kokoh. Di bagian atap hingga mestaka (mahkota) biasanya berbentuk sederhana, segitiga lancip ke atas langit. Tapi walaupun demikian masjid tempo dulu kaya akan nilai-nilai filosofis dan mengajak orang untuk beribadah.

Berbeda dengan masjid saat ini. Sekalipun bergaya Eropa dengan corak arsitektur kontemporer nyatanya masjid malah berfungsi sebagai objek wisata. Masjid tidak menggairahkan orang ibadah melainkan berfoto ria. Hal itulah yang dalam beberapa analisis mengalami degradasi makna. Sehingga dalam bahasa Mircea Eliade telah terjadi kerapuhan di mana orang tidak bisa membedakan mana yang sakral dan profan. Padahal jelas, fungsi masjid adalah sarana tempat di mana hamba beribadah, menghadap kepadaNya.

Yang lebih mengerikan dari masjid adalah ketika terjadi komersialisasi agama. Terutama jelang resepsi politik masjid justru menjadi sasaran empuk para politikus berkampanye. Inilah yang disebut politik identitas berbasis keagamaan tumbuh subur di Indonesia. Padahal jika kita mau mendalami, dulu zaman Rasulullah masjid memang multifungsi bisa menjadi tempat apapun. Akan tetapi ketika sudah berada di dalamnya jama'ah tidak boleh mengotorinya misalnya dilarang untuk membicarakan hal duniawi. Anggapan orang dulu bahwa bagian dalam masjid adalah sesuatu yang privat di mana seorang hamba berkomunikasi dengan Tuhannya. Maka tidak heran di Jawa masjid sangat dihormati dan memang terasa wingit, misalnya masjid tiban atau masjid langgar dalem.

Di era modern seperti saat ini masjid memang tengah bersolek. Masjid beradaptasi dengan perkembangan zaman. Maka wajar saja suasana masjid tidak seperti dulu yang penuh kearifan. Jika dulu mungkin kita belajar pada masjid peninggalan para wali atau masjid ala Mbah Bolong yang di depan mihrabnya terdapat bolongan atau masjid Istiqlal yang dirancang oleh Silaban seorang Nasrani. Apa mau dikata fakta telah membuktikan demikian bahwa masjid tengah merangkak mencari identitasnya di era modern. Toh, jika pun komersialisasi harus terjadi apa boleh buat. Jika kita suguhkan pertanyaan Mbah Sujiwo Tejo, "Apakah benar Tuhan ada di masjid?". Jika memang ada mengapa orang keluar dari masjid masih ada yang jadi penipu, koruptor, pembunuh, pencuri, penadah, bahkan teroris.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...