Langsung ke konten utama

Asyiknya Menjadi Juri Kompetisi Esai




Woko Utoro

Beberapa bulan lalu saya diminta menjadi juri kompetisi esai dalam rangka Milad Formasik ke-13. Tawaran tersebut tentu bukan kali pertama melainkan ketiga ini. Saya jadi berpikir apakah tidak ada juri lain selain saya haha. Tapi baiklah, panitia tentu memiliki penilaian sendiri mengapa memilih saya.

Seperti saat lalu saya menjadi juri tidak sendiri melainkan bersama Ibu Titik Dwi Ramthi dan Bapak Arista Nur Rizki keduanya adalah dosen Tadris Bahasa Indonesia UIN SATU Tulungagung. Kami diminta panitia untuk mengkurasi setidaknya 26 esai yang terkumpul. Dengan ketentuan orisinilitas, argumentasi, kesesuaian tema dan struktur tulisan.

Di sinilah asyiknya menjadi juri yaitu dapat membaca karya-karya peserta dengan segala gagasannya. Dari sana akhirnya kita mendapat banyak inspirasi yang bisa dikembangkan dalam bentuk lain misalnya jurnal atau esai populer.

Sayangnya dari berbagai karya peserta tersebut masih banyak kekurangan. Karya yang ditulis oleh mahasiswa UIN SATU Tulungagung tersebut masih terkesan dipaksakan. Misalnya banyak peserta yang mungkin kurang teliti dalam hal penempatan tanda baca, struktur kalimat, metode sitasi, penggunaan referensi dan makna esai itu sendiri. Walaupun begitu mungkin saya bisa memaklumi bahwa membuat esai ilmiah itu tidak mudah. Sebab kita perlu riset dengan teliti serta fasilitas konsultasi dan waktu yang cukup.

Dari kompetisi tahun lalu dan saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda. Mungkin saja peserta yang didominasi semester 3 masih belum menemukan tajinya. Cepat atau lambat pasti seiring proses, jam terbang dan latihan akan menuai hasilnya.

Terakhir tentu saya berharap kompetisi serupa akan terus ada. Bukan soal siapa nanti jurinya. Tapi soal semakin banyak lagi mencetak esais baru yang melahirkan gagasan baru, kritis dan bermanfaat bagi masyarakat. Karena kompetisi menulis itu penting untuk kelestarian pengetahuan.[]

the woks institute l rumah peradaban 13/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...