Langsung ke konten utama

Tetap Hidup Walaupun Tak Bermakna




Woko Utoro

Anda mungkin tahu judul tulisan tersebut adalah diksi peninggalan jaman corona (baca: Covid_19) yang ternyata masih diwarisi hingga kini. Sekilas kalimat tersebut nampak biasa saja bahkan terkesan guyonan. Padahal jika direnungkan artinya sangat dalam.

Sebelum jauh kita bisa kritisi bahwa kalimat tersebut merupakan salah langkah. Pasalnya Tuhan menciptakan makhluknya tidak ada yang tidak berguna. Semua memiliki peran serta fungsinya masing-masing. Bahkan di balik penciptaan hewan dan tumbuhan yang haram adalah pelajaran bagi orang-orang beriman. Sedangkan yang dimaksud tidak bermakna hanya 2 yaitu orang bodoh (baca: tidak mau belajar) dan orang yang tidak tahan uji.

Soal kedua padahal Socrates mengingatkan bahwa hidup yang tak teruji tidak layak dijalani. Jadi kebermaknaan hidup sebenarnya terletak pada bagaimana kita mengisinya dengan baik. Salah satu hal penting lainnya yaitu tetap menjalani hidup apa adanya. Bahkan sekalipun kita berpikir apa gunanya jika akhirnya hanya sekadar melakukan rutinitas yang membosankan.

Walaupun begitu kita harus tetap menjalani hidup dengan baik. Misalnya bagaimana kisah tabahnya Sisifus yang dihukum membawa batu besar ke atas gunung. Ketika sampai di atas batu tersebut tergelincir dan hingga mati Sisifus terus melakukan itu berulang kali. Bagi Sisifus apa yang ia lakukan bukannya tak bermakna justru perjuangannya itulah yang menjadikannya bermakna.

Kita juga bisa belajar dari ketabahan Santiago, si kakek tua yang berjuang hampir 100 hari di tengah laut demi mendapatkan ikan Marlin. Kisah dari Ernest Hemingway tersebut tentu sangat menguras emosi. Pasalnya cerita itu nampak tidak bermakna apalagi ketika Santiago mengalami banyak kegagalan. Tapi dari itu kita belajar akan arti perjuangan tak mengenal lelah. Di sanalah letak kebermaknaan hidup.

Intinya sebisa mungkin apa yang kita bisa lakukanlah. Tanpa harus peduli orang lain yang mencemooh. Bahwa kita harus berpihak pada kebenaran. Bukan berpihak hanya sekadar baik. Tapi lebih dari itu dan hati nurani lah yang layak untuk diperjuangkan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...