Langsung ke konten utama

Pesan Menggugah Jiwa Paus Fransiskus




Woko Utoro

Beberapa hari lalu pemimpin tertinggi Agama Katolik Roma Vatikan berkunjung ke Indonesia. Kunjungan tersebut merupakan bagian dari perjalanan Apostolik Sri Paus ke Asia Pasifik. Indonesia beruntung menjadi negara pertama yang dikunjungi Pope atau bapa suci bagi umat Katolik tersebut.

Terakhir Indonesia dikunjungi pemimpin tertinggi Vatikan tersebut pada 1970 (Paus Paulus VI) dan 1989 (Paus Yohanes Paulus II). Di 2024 ini Sri Paus Fransiskus datang untuk melawat keragaman di Indonesia. Sri Paus mengunjungi Istana Merdeka, Masjid Istiqlal, Katedral Jakarta dan Misa Akbar di GBK. Dari kunjungan Sri Paus tersebut ada yang berharga bagi bangsa ini yaitu pesan-pesannya.

Dikutip dari Kompas, Sri Paus setidaknya menitipkan pesan luar biasa selain pesan perdamaian antar bangsa-bangsa Selain itu Sri Paus juga memberi pesan lain di antaranya: pertama, kita harus selalu menebar kasih dan mengedepankan dialog. Pesan tersebut tentu sama seperti misi Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta dan mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan.

Kedua, kita diingatkan bahwa ketegangan di sebuah negara terjadi karena kekuasaan menggunakan cara kekerasan untuk menyeragamkan warganya. Padahal khusus di Indonesia mayoritas penduduknya majemuk.

Ketiga, Kekuasaan yang disalahgunakan tentu sangat berbahaya dan bisa menimbulkan konflik horizontal dari berbagai kalangan.

Keempat, kita harus punya sikap bela rasa atau empati kepada sesama. Sebab bela rasa itu tidak mudah apalagi di tengah masyarakat yang plural. Terlebih setan selalu ada di saku manusia. Setan selalu berupaya memecah belah persaudaraan.

Kelima, barangkali ini yang paling menyentuh dari salah satu pesan Sri Paus yaitu bahwa harta paling berharga bukan barang tambang melainkan keamanan dan kerukunan warganya. Bahwa sumberdaya utama suatu negara adalah kerukunan.

Demikian pesan-pesan adiluhung Sri Paus yang terekam selama lawatan beliau 3 hari di Indonesia. Selain keramahan, kesederhanaan Sri Paus juga sosok yang terus mengkampanyekan isu humanisasi dan pentingnya menjaga lingkungan.[]

the woks institute l rumah peradaban 10/9/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...