Langsung ke konten utama

Meninjau Ulang Narasi Skeptis Terhadap Tasawuf




Woks

Skeptis terhadap tasawuf? pertanyaan menggelitik itu tentu tidak salah karena sejatinya skeptis itu tabiat dasar manusia. Jangankan skeptis terhadap tasawuf tentu sejak dulu bahkan kalangan filsuf telah ragu dengan Tuhan. Kaum new-atheis juga tak kalah uniknya mereka menganggap bahwa agama hanyalah imajinasi yang dikonstruk oleh pembawanya, agama hanyalah ilusi (Freud), agama adalah candu (Marx) serta banyak lagi pandangan skeptis lainya. Lantas apakah pandangan demikian keliru? sebenarnya ini bukan benar atau salah melainkan perlu diluruskan dengan menggali ke akar pengetahuan.

Kita tahu skeptis adalah sebuah sikap ragu (syak) atau paham tentang keraguan (isme), paradoks, bingung, cemas, praduga, curiga, dan bertentangan terhadap sesuatu. Skeptisisme telah hidup dan berkembang jauh di antaranya filsuf Xenophanes atau Pyrrho yang mengatakan bahwa ragu terhadap alat indera yang tak lain hanya ilusi. Setelahnya filsuf Gorgias yang ragu akan kebenaran pemahaman lalu David Hume, Rene Descartes juga tak kalah sebagai orang yang ragu. Abad 12 Imam Ghazali pun pernah skeptis sehingga memunculkan karya tentang epistemologi keraguan. Ragu tidak selamanya negatif selain al Ghazali kalangan Islam mengambil berkahnya dengan menulis kitab seperti Salih ibn Abd al-Quddus, ia menulis Kitab al-Syukuk (Kitab Keraguan).

Sebelum jauh kita juga harus memahami bahwa skeptis itu terbagi atas 4 macam yaitu skeptis filosofis ialah ragu akan sesuatu yang sifatnya relatif. Skeptis moral yaitu sebuah pandangan atau tindakan yang keduanya bisa saja memiliki kebenaran dan kesalahan. Skeptis metodologis ialah ragu akan metode mencapai sesuatu. Skeptis metafisika yaitu keraguan akan manusia mustahil mencapai dengan pengetahuanya. Terakhir ialah skeptis analitik yaitu keraguan menganalisis lingkungan.Tanpa skeptis seseorang tak akan menemukan kebenaran sejati. Sisi positif dari skeptis adalah menggerakan orang untuk terus mencari tanpa henti.

Skeptis Terhadap Tasawuf Mengapa Bisa Terjadi?

Sebelum membedah mengapa orang-orang skeptis terhadap tasawuf sebagai ajaran dengan metodologi yang sulit dipahami. Maka perlulah kita melihat realitas terhadap Barat yang selama ini selalu kita elu-elukan. Realitasnya Barat telah mengalami masa suram (dark age) selama berabad-abad sedangkan Islam telah melampaui zamanya. Sejak lama Barat telah kehilangan pandangan intellectus atau visi illahinya. Mereka dari dulu telah mengidap amnesia yang akut alias bangsa pelupa. Mengapa demikian? bukankah Barat merengkuh dunia dengan modernisasinya. Jawabannya sederhana yaitu karena pandangan mereka mengalami disfungsional, menafikan metafisika, menjauh dari titik pusat eksistensi, hanya bisa singgah dipinggiran eksistensi akan pengetahuan yang terpecah-pecah (fragmented knowledge), sehingga melihat alam tidak sebagai sesuatu yang tunggal.

Tidak hanya Barat secara umum bahkan Seyyed Hosen Nasr menilai bahwa manusia modern menilai alam hanya sebagai pelacur yang terus dieksploitasi lantas kita bertanya apakah ada kaum sufi yang berbuat aniaya seperti itu? sepertinya tidak ada bahkan doktrin mereka sejak dulu sama bahwa Ilmu pengetahun terbaik adalah yang takut (khauf) dan dapat mendekatkan kepada Tuhan.

Hal inilah yang menjadi catatan bahwa di tengah kemajuan justru manusia modern semakin linglung. Jika kepemilikan materi adalah hal yang utama mengapa masih banyak orang yang rakus akan harta dan jabatan. Jika segala macam yang mereka inginkan telah didapat mengapa kebanyakan orang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Lantas jika segala macam keresahan dan depresi harus berkawan dengan obat-obatan apakah hal itu tidak menyimpang padahal dalam agama sudah banyak metodenya sebagai petunjuk jalan penerang.

Di sinilah perlunya kita memahami bahwa problem manusia modern adalah krisis spiritualitas, keterasingan (alienasi), kehilangan dimensi transendental, kehampaan spiritual dan menganggap bahwa dunia ini adalah final padahal bagi para sufi dunia ini hanya mampir. Mereka bisa saja secara fisik tertawa bahagia sedangkan hati menangis, fungsi batin tumpul dan jiwa mati rasa. Salah satu cara untuk mendobrak segala macam problem kehidupan adalah dengan jalan spiritual dalam hal ini tasawuf. Mengapa tasawuf? karena menurut Sayyed Hosen Nasr di dalam tasawuf terdapat tingkatan yang disebut maqamat.

Melalui maqamat atau stasiun itulah harapannya manusia dapat mencari kesejatian. Dalam tarekat tentu terdapat metode yang ditunjukkan oleh seorang mursyid untuk mencapai tujuan yang hakiki itu. Sebab inti dari tasawuf tidak hanya dimaknai sebagai ajaran saja tapi lebih utama pengamalannya. Kita tidak bisa menjelaskan sesuatu kepada mereka yang hanya sebatas angan-angan. Maka jika tak mampu dibimbing oleh guru carilah jawaban atas keraguan itu sendiri seperti halnya Imam Ghazali dalam proses pencarian membutuhkan hampir 11 tahun dari Mesir, ke Baghdad, Makah Madinah.

Lalu apa yang membuat Imam Ghazali menemukan kebenaranya tak lain karena tasawuf. Tasawuflah yang menjadi jalan akhir dari pengembaraan intelektual spiritual al Ghazali seperti dalam ungkapannya "Tuhan telah menyembuhkanku dari penyakit ini (skeptisisme) dan mengembalikan jiwaku menjadi sehat dan seimbang". Al Ghazali melalui otobiografinya "al Munqid Minad Dhalal" menjelaskan dengan gamblang proses perjalanan mencari kebenaran tersebut. Hingga ia sadari bahwa semua petunjuk itu karena cahayaNya, maka al Ghazali menulis "Misykat al Anwar" sebagai tafsir yang ia alami lewat surah an Nur lalu penguat utamanya lewat magnum opus kitab "Ihya Ulumuddin".

Lalu mengapa orang masih skeptis terhadap tasawuf? tak lain karena kita pahami bahwa tasawuf itu ada yang mudah dipahami (tasawuf akhlaqi) dan yang perlu penalaran mendalam (tasawuf falsafi). Kemungkinan besar tasawuf falsafilah yang memang tidak setiap orang dapat menjamah maksud dan tujuanya. Sehingga kesimpulan mengapa skeptis muncul tak lain karena keterbatasan akal untuk mencerna semua pengetahuan yang luas ini. Padahal bagi Nasr tasawuf telah berkontribusi besar dalam menangani alam yang rusak ini. Tasawuf telah menjadi terapi bagi mereka yang terkena penyakit dalam. Bahkan dalam sejarah Indonesia merdeka tak lain karena spirit kaum tarekat, spirit pembebasan dan perjuangan.Tetaplah mencari, jika hati telah bersih pasti cahaya kebenaran Nya akan terpancar sebagai jawaban atas keraguan kita.

Refleksi: sebenarnya tema tentang skeptis terhadap tasawuf ini sangatlah luas dan kompleks. Kita tidak bisa berhenti di sini apalagi berpangku tangan. Kita perlu terus belajar menggali pengetahuan yang lebih dalam lewat sejarah dan mendekat ke akar. Selain lewat jalur akademik, jalur spiritual juga harus ditempuh. Hanya lewat jalur spiritual lah kita akan mendapatkan pengetahuan baru yang sebelumnya tak sempat terdetik dalam hati.

Referensi:

Andi Nurbaethy, Skeptisisme Dalam Skema Epistemologi Al-Ghazali. Jurnal Aqidah-Ta, UIN Alauddin Makassar, vol.4, no.1, 2018.

Dedy Irawan, Tasawuf sebagai Solusi Krisis Manusia Modern: Analisis Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam, UNIDA Gontor, vol.3, no.1, Februari 2019.

the woks Institute l rumah peradaban 23/5/21






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...