Langsung ke konten utama

Pasca Ramadhan Jadilah Pemudik Sejati




Woks

Secara dhohir hari ini ibadah ramadhan kita telah paripurna setelah satu bulan penuh menjalankan puasa serta menghiasnya dengan ragam ibadah lainya seperti tadarus quran, qiyamul lail, zakat hingga berbagi dengan sesama. Tapi secara batin bisa saja perasaan kita menangis karena perjalanan ibadah satu bulan penuh itu masih terasa rapuh. Rasanya semua hal baik yang pernah dilakukan selama satu bulan penuh itu masih belum cukup menjadi bekal menuju ke kampung keabadian.

Tulisan ini tidak ada kaitannya dengan larangan mudik yang digelorakan pemerintah karena upaya mengurangi laju pandemi Covid-19 yang masih merebak. Tulisan ini meninjau secara filosofis apa yang harus kita perbaiki pasca ramadhan dan oleh-oleh apa yang kita bawa pulang untuk diamalkan di luar ramadhan. Tentu di awal kita mengucap syukur atas keagungNya karena masih diberikan nikmat untuk bertemu ramadhan dan akan selalu berharap esok masih bersua ramadhan lagi.

Bagi saya secara pribadi ramadhan dua tahun ini tentu terasa berbeda karena kita masih dalam keadaan pandemi. Banyak hal yang terasa kurang bahkan hilang termasuk menjalankan ibadah yang dirasa masih begitu terbatas. Lebih-lebih kita beribadah di tengah kepungan rasa was-was karena pandemi masih mengintai siapa saja. Akan tetapi perasaan hikmat dalam ibadah tersebut masih dirasakan sehingga setidaknya ada 3 poin besar yang menjadi catatan kelak sebagai bekal pengamalan di luar ramadhan.

Pertama, memiliki rasa takut kepada Allah swt. Perasaan takut kepada Allah swt tentu berkorelasi dengan keilmuan di mana dalam Islam seharusnya ciri orang berilmu yaitu semakin dekat dan takut kepada Allah swt. Sehingga keilmuannya tidak digunakan sebagai dasar dari maksiat yang membuat kerusakan.

Pada poin pertama ini menjadi starting points di mana kita selalu mengkajinya selama ramadhan. Utamanya dalam tradisi pesantren, mengaji sebagai cara mengasah keilmuan akademik sangatlah banyak kita jumpai. Apalagi dua tahun ini kita banyak disuguhi pengajian online dengan pembahasan yang beragam mulai dari akhlak, fikih hingga hikmah. Kitabnya pun tentu beragam mulai dari kitab kecil tipis ala Mabadi Fikih hingga khataman Ihya Ulumuddin dll.

Pada poin pertama ini tentu harapannya aktivitas mengaji tersebut masih terus dipupuk sampai kapanpun tanpa memandang ramadhan karena banyaknya pahala. Karena sejatinya mengaji itu juga salah satu kebutuhan yang dilakukan sepanjang usia.

Kedua, perbanyak dzikir dan shalawat. Kita tahu selain puasa, dzikir dan shalawat merupakan makanan ruhani. Selama satu bulan penuh itu sebenarnya kita tengah dididik oleh Allah swt untuk berpikir ulang dengan jernih bahwa selama 11 bulan lamanya kita selalu memberikan porsi jasad untuk selalu (makan, minum, syahwat dkk) nah, saat ramadhan waktu yang pas untuk mendidik ruhani. Jika jasad kenyang bisa sangat mungkin secara hakikat ruhani kita kelaparan.

Maka dari itu melalui dzikir dan shalawat harapannya bisa menjadi pelumas sekaligus menjadi motor penggerak dalam hal ngopeni jeroan itu (ruhani). Dzikir adalah roda untuk kita tetap ingat kepada Allah sedangkan shalawat adalah wasilah selain mahabbah kepada Rasulullah ia juga sebagai sarana wushul kepada Allah swt.

Ketiga, jadilah ibu bagi sesama. Poin ketiga ini orang-orang bertanya kita ini lelaki bagaimana mungkin bisa menjadi perempuan. Sebenarnya poin ketiga ini maksudnya yaitu bagaimana kita bisa lebih menghayati apa yang ada dalam diri manusia bernama ibu, bernama perempuan. Ya menjadi keibuan (al ummi) adalah sebuah cerminan agar kita semakin lembut hatinya. Coba kita lihat struktur tubuh dan kudrat seorang ibu ia tentu memiliki peran ganda ketimbang lelaki.

Seorang ibu selain seorang perempuan, ia juga istri sekaligus pemimpin bagi anak-anaknya. Ia adalah madrasah pertama sebagai pendidik bagi anak-anak. Yang terpenting ibu adalah simbol kasih sayang tanpa batas. Ia juga simbol kepekaan. Maka pantas jika pasca ramadhan itu kita diharapkan bisa seperti ibu yang peka terhadap banyak hal. Banyak orang pintar tapi keblinger alias tidak peka akan kepekaannya. Maka pantas jika peka itu kaitanya dengan hati bukan seonggok pikiran. Jika hanya sekedar banyak tapi miskin tindakan utamanya soal bingkai sosial kita yang rapuh.

Mari kita hayati ibu sebagai sosok yang istimewa. Tanpa mendiskreditkan peran bapak, yang jelas dalam hal ini ibu berperan menkonstruk hati dan jiwa kita dari sikap arogansi yang seharusnya luntur ketika saling merasa bahwa kita punya salah. Maka di hari Idul Fitri tradisi kita adalah minta maaf. Sungguh orang yang saling memberi maaf adalah orang yang terbaik dan beruntung.

Terakhir dari semua poin itu kita diajak berpikir apakah level sosial spiritual kita semakin meningkat atau justru malah anjlok. Di sinilah pentingnya berkaca diri untuk menjadi pemudik sejati. Karena sejatinya kita sedang berjalan jauh menempuh kehidupan ini. Pemudik sejati adalah mereka yang sudah mempersiapkan sejak jauh hari bekal apa yang pas untuk pulang ke kampung keabadian?

*Selamat Idul Fitri 1442 H, mohon maaf lahir batin, semoga Allah memberkahi kita semua.

the woks Institute l rumah peradaban 1 Syawal 1442 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...