Langsung ke konten utama

Seminar Parenting: Mendidik Anak di Era Pandemi




Woks

Kita belum pernah punya pengalaman terkait pandemi apalagi tidak sempat terpikirkan bahwa keadaan ini berlangsung lama. Sudah hampir genap dua tahun kita hidup di era pandemi yaitu sebuah kondisi yang hampir tiap hari berisi keluhan dan rasa cemas. Hal itu tak terkecuali terjadi kepada siapa saja termasuk orang tua. Mereka begitu khawatir dengan nasib anaknya lebih lagi tantangan mendidik di era kekinian begitu nampak berat.

Keberadaan gadget dan media sosial menjadi arus deras yang dihadapi oleh orang tua. Mereka harus memutar otak dengan cepat bagaimana agar anak-anak kembali seperti dulu di mana belajar menjadi spirit dan gaya hidup. Mereka juga dihinggapi ketakutan dengan kondisi anaknya yang kecanduan game dan berbagai aplikasi melalui gadgetnya. Semua seolah berkeluh kesah soal gadget yang membuat anak terlena, lantas bagaimana, apakah tidak ada solusi untuk keluar dari keresahan ini.

Sebelumnya kita perlu perhatikan maqola al-insan abnau az-zaman, bahwa manusia adalah anak zamannya. Secara umum manusia dilahirkan dengan pembawaan yang sesuai dengan zamanya. Secara lebih khusus hal itu diperjelas lewat pesan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah bahwa didiklah anakmu sesuai zamannya karena mereka tidak hidup di zamanmu. Pesan tersebut menyiratkan makna bahwa kita harus peka dan segera melakukan jurus adaptif agar anak-anak tidak jadi korban egoistis orang tua. Bukankah selama ini penetrasi orang tua terhadap anaknya begitu kuat sehingga dibeberapa kasus banyak anak yang mengalami stres bahkan depresi. Belum lagi tugas dari sekolah memperparah keadaan psikis yang kian hari dianggap sebagai beban.

Jika kondisi tersebut terus menerus berlangsung maka wajar anak akan memilih game sebagai pelampiasanya. Di era pandemi kegiatan yang hampir bisa dibilang terbuang, tidak dapat dipungkiri jika kondisi tersebut dimanfaatkan oleh anak untuk terus bebas merdeka. Sehingga output karena konstruksi keadaan justru dianggap oleh sang anak adalah liburan tanpa akhir. Sehingga kegiatan belajar yang biasa dilakukan di sekolah tidak lagi menarik. Anak-anak menjadi kehilangan rasa ingin tahunya. Di sinilah tantangan orang tua dan guru dalam mendidik anak yang capaian pengetahuannya melebihi orang dewasa.

Anak dan dunianya memang mengasyikan sekaligus menenggelamkan dengan demikian jika orang tua dan guru tidak mampu menyelaminya maka yang terjadi anak semakin tak bisa dikondisikan. Anak-anak sukar untuk mendengar nasihat dan cenderung membantah. Di sinilah hal yang mengerikan terjadi yaitu anak kehilangan etika moralnya.

Berdasarkan temuan masalah di lapangan yang mayoritas dirasakan oleh orang tua maka beberapa solusi bisa menjadi alternatif agar menjadi resep yang bisa dipraktekkan di rumah atau sekolah. Misalnya untuk controling penggunaan gadget maka orang tua harus membatasi dengan membuat jadwal yang disepakati bersama. Orang tua diminta untuk hadir dan berperan dalam pendampingan. Karena dewasa ini kita perlu selektif dalam memilih konten yang baik untuk anak.

Di era pandemi seperti saat ini saya rasa benar bahwa kita harus menjadi guru bagi anak. Sehingga baik di sekolah ataupun di rumah kita adalah guru yang menempa anak-anak. Sehingga fungsi guru tersebut tidak hanya sekedar mentransfer ilmu tapi berperan membimbing, motivasi dan teladan. Keteladanan tentu kita tahu merupakan salah satu pendidikan yang dicontohkan Nabi Muhammad saw selain kejujuran, berdoa dan tak mudah marah.

Selain itu fungsi komunikasi sangatlah penting dibangun di era yang tak menentu seperti saat ini. Komunikasi yang hangat bisa menjadi jembatan penghubung antara anak dan dunianya sehingga problem yang selama ini kita keluhkan bisa diminimalisir. Selain komunikasi hal lain pun bisa diciptakan misalnya dengan menciptakan ekosistem yang positif seperti memperhatikan zona khusus untuk anak, relevansi dan kebutuhan anak, analisan rasa bosan dan menumbuhkan karakter.

Anak-anak dalam kondisi apapun memang sangatlah kompleks. Mereka perlu pendampingan yang disesuaikan dengan kebutuhanya. Terutama di saat pandemi seperti ini anak-anak terus bergerak menarikan fungsi motoriknya sehingga mereka tidak kehilangan ruang geraknya. Kita tahu bahwa belajar tidak hanya di dalam kelas melainkan di alam terbuka adalah bagian dari pembelajaran alamiah. Teruslah membangun anak dengan keadaan yang riang dan gembira agar mereka tidak kehilangan masa depanya.

*Disampaikan dalam acara Parenting School: TK Kreatif Al Furqon Ngunut Tulungagung.

the woks Institute l rumah peradaban 30/5/21

Komentar

  1. Uwuuuuuuu ...dengan pembimbingan dan pendampingan yang tepat pandemi menjadi peluang meningkatkan hubungan emosional dengan anak.. salah satu tantangan lagi adalah mengarahkan anak agar lebih terbuka akan keinginannya...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...