Langsung ke konten utama

Menghidupkan Kearifan




Woks

Salah satu hal mengapa bangsa Indonesia diberkahi oleh Allah swt adalah karena banyaknya kearifan yang dititipkan melalui ulama. Kita pasti tahu bahwa setiap bangsa punya kearifanya masing-masing. Kearifan itulah menjadi tempat berpijak kaum filsuf atau para sufi dalam menentukan arah di suatu pucuk masalah. Dengan kearifanlah suasana yang panas berubah menjadi sejuk. Sedangkan hidup tanpa kearifan kita akan kehilangan tempat berteduh. Maka dari itu marilah kita terus belajar menghidupkan kearifan serta terus berteduh di bawah akhlak ulama.

Kearifan tidak hanya berbentuk kata-kata melainkan semua tingkah laku, perbuatan bisa sangat mungkin melahirkan kearifan. Orang-orang pecinta kebijaksaan pasti memiliki cara untuk mengetengahkan laku hidup yang esensial. Sehingga tidak dipungkiri bahwa kearifan terlahir dari penghayatan hidup yang mendalam. Orang bisa saja mengenyam pendidikan perpuluh tahun lamanya tapi apakah pendidikanya menjadi mencipta manusia arif. Rasanya belum tentu, sedang jika dibanding dengan orang desa yang tidak sekolah justru mereka bisa mendidik anak-anaknya hingga pendidikan tinggi.

Kearifan memang tidak bisa diciptakan melalui lembaga pendidikan. Justru kearifan tercipta karena hati yang ikhlas, suci dan penuh penghayatan. Pendidikan justru membuat manusia menjadi terkotak-kotak. Mereka akan berproses sesuai dengan konstruk kurikulum dan pangsa pasar. Segala macam jurusan yang ditawarkan lewat sekolah hanya mencetak generasi pekerja. Padahal inti pendidikan adalah mendidik itu sendiri. Mendidik diri sendiri untuk terus belajar mencintai ilmu, mengabdi dan berkontribusi kepada masyarakat. Karena tidak adanya kearifan pendidikan di lembaga yang tersebar itu justru malah penjauhkan siswa dengan kampung halamannya. Percis seperti sajak seonggok jagung WS Rendra "apa guna pendidikan jika pulang menjadi kikuk. Apa guna belajar filsafat, kedokteran, psikologi jika pada akhirnya merasa asing dan sepi".

Apakah kearifan telah hilang? padahal jika kita renungi orang-orang tua dulu telah banyak memberi kearifan salah satunya mengajak orang untuk tetap rukun antar sesama tetangga. Mereka selalu mengatakan bahwa peperangan hanya akan membawa luka dan peperangan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Salah satu kearifan yang sangat kita kenang bahkan selalu dirindukan adalah ketika Gus Dur menahan orang-orang yang mengatasnamakan pasukan berani mati agar tidak usah datang ke Jakarta. Gus Dur tidak ingin cuma karena dirinya orang-orang jadi korban perang saudara. Gus Dur bahkan sering berpesan bahwa tidak ada jabatan yang dibela mati-matian. Jadi apa yang dilakukan Gus Dur akan kita kenang sebagai karya terbaik guru bangsa Indonesia. Baginya satu tetes darah manusia lebih mulia dari setinggi apapun jabatan.

*Dari buku Diskursus Kerinduan

the woks Institute l rumah peradaban 7/5/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...