Langsung ke konten utama

Pesona




Woks

Habib Umar Muthohar Semarang bercerita tentang istilah jadhab majdhub bahwa dulu ketika Siti Julaikha tergoda karena ketampanan Nabi Yusuf maka tanpa disadari ia menjatuhkan nama besarnya. Sehingga pamor di kalangan bangsawan sedikit ternoda karena perbuatan Siti Julaikha tersebut. Akan tetapi saat ia mendapat cemoohan dari banyak orang terutama dari ibu-ibu istri pejabat Siti Julaikha merasa tidak terima hingga akhirnya ia membuat sebuah challenge.

Tantangan tersebut adalah para istri pejabat diminta mengupas buah di meja. Lalu dihadirkanlah Nabi Yusuf ke ruang jamuan tersebut. Singkat cerita tanpa disadari ibu-ibu pejabat tersebut terpana karena ketampanan Nabi Yusuf. Saking terpesonanya mereka pun tidak sadar bahwa yang dikupas bukan buah melainkan jari tangan mereka sendiri. Hal itu sudah diprediksi Siti Julaikha bahwa mereka pasti akan terhipnotis oleh ketampanan Nabi Yusuf. Bahkan darah dari ujung jemari pun tak kuasa mereka rasakan kecuali sudah teralihkan kepada Nabi Yusuf. Mereka pun sadar dengan apa yang dilakukan bahwa baru terasa sakit setelah Nabi Yusuf beranjak pergi.

Gambaran dari cerita tersebut tentu menarik kita kontekstualkan dengan keadaan saat ini. Keadaan di mana orang-orang telah teraleniasi oleh kecantikan dunia. Mereka tidak sadar bahwa isi dunia hanya ilusi dan tipuan. Tanpa sadar sudah berapa orang yang terjebak dengan kemegahan dunia. Padahal Allah swt mewanti-wanti lewat firman dalam surah at Takasur untuk tidak bermegah-megahan dan menumpuk harta. Karena ada yang lebih penting dari sekadar materiil yaitu transendensi kepada Allah swt.

Dunia yang indah ini sejatinya hanyalah debu kadang membuat mata kita kelilipen. Setelah itu mata menjadi nampak buram sehingga memandang apapun menjadi samar. Seolah-olah apa yang baik bagi kita selalu nampak baik dan jika buruk pun kita akan bergegas mencari dalil pembenarnya.

the woks Institute l rumah peradaban 8/5/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...