Langsung ke konten utama

Yarnen Sebagai Konsep Berniaga ala Habaib di Indramayu


Sumber foto: Energi bangsa.id


Woks

Budaya konsumtif masyarakat kita cenderung tinggi apalagi ketika masuk musim panen atau perayaan hari-hari besar maupun hari istimewa lainya. Orang-orang berbondong-bondong membeli segala macam kebutuhan mulai dari sandang seperti pakaian, sarung, sajadah dll, lalu pangan mulai beras, lauk pauk hingga kurma, lalu beberapa perkakas seperti perabot dapur, perabot mandi hingga kursi tamu. Semua hal itu bisa jadi menjadi penting ketika panen tiba. Biasanya ibu-ibu yang tak kuasa menahan untuk selalu ingin membeli. Benar saja bahwa disaat musim paceklik pun orang-orang bisa dengan mudah menjadi object buying.

Mengapa masyarakat bisa dengan mudah membeli barang yang mereka inginkan padahal keuangan sedang menitis. Alasanya sederhana, ternyata di Indramayu berkembang beberapa cara berniaga alias cara transaksi ekonomi tersebut di antaranya kita kenal dengan yarnen. Entah istilah yarnen atau akronim "bayar panen" kapan munculnya, akan tetapi pada 1872 ketika komunitas Arab yang ada di Cirebon memisahkan diri ke Indramayu disaat itulah kita sudah mengenal istilah yarnen.

Pada saat itu kalangan habaib datang ke Indramayu ada karena perintah guru, ada yang karena berdakwah dan berdagang, ada pula yang hanya sekadar berdagang (ghabil). Bagi yang meluaskan usahanya di bidang ekonomi para habaib itu membuka kios hingga menjajakan barangnya ke berbagai daerah, nah di sanalah mereka menawarkan dagangannya dengan yarnen alias ambil barang terlebih dahulu lalu bayarnya nanti ketika musim panen tiba.

Di kalangan kita yarnen atau bayar panen memang masih sering dijumpai utamanya lewat pedagang yang sering menjajakan dagangannya ke rumah-rumah. Mereka biasanya membawa catatan khusus dan akan menagih secara berkala dan puncaknya ketika panen raya tiba. Saking seringnya berinteraksi dengan petani, si pedagang tersebut sampai kenal akrab hingga seperti saudara sendiri. Bahkan saat ini kita menjumpai transaksi jual beli secara arisan artinya orang-orang membayar barang dagangannya dengan mengangsur. Kemudahan itulah merupakan sistem ekonomi yang disesuaikan dengan iklim masyarakat petani yang egaliter serta sirkulasi uangnya berputar disaat panen.

Tentu kita tahu petani merupakan objek dakwah yang sangat penting untuk dirangkul. Maka tidak salah ketika para penyebar Islam yang datang lewat pesisir langsung menyesuaikan metode dakwahnya sesuai dengan sasaran dakwahnya. Selain pernikahan tentu cara bercocok tanam dan berniaga merupakan metode yang ampuh untuk disisipi muatan dakwah. Dengan demikian petani bisa mengerti agama Islam dan tanpa mengikis tradisi yang berkembang selama tradisi tersebut tidak terlarang.

the woks Institute l rumah peradaban 18/5/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...