Langsung ke konten utama

Bedah Buku: Membongkar Gerakan Sesat NII & Pesantren Al Zaytun




Woks

Saya kebetulan warga asli daerah Mekarjaya Gantar yang hidup di sana sudah sekitar 20 tahun lamanya. Selama hidup di sana tentu saya berkenalan akrab dengan siapa saja salah satunya dengan tetangga yang bekerja sebagai karyawan di Ma'had Al Zaytun. Sejak kecil tentu saya juga berkawan baik dengan anak-anak dari karyawan Al Zaytun tersebut. Akan tetapi setelah kami remaja hingga saat ini barulah saya sadar ada ketidakberesan dari Al Zaytun tersebut yang ternyata dulu sempat geger baik di media masa maupun pemberian televisi.

Salah satu hal yang sifatnya kontroversi mengenai Al Zaytun dikupas melalui buku yang sudah saya baca ini. Buku ini merupakan upaya penulis dan timnya untuk membuktikan bahwa desas-desus itu ternyata benar. Mereka mencari fakta mengenai kejanggalan yang selama ini bukan menjadi rahasia umum. Kejanggalan tersebut di antaranya kemunculan yayasan pesantren yang terkesan tiba-tiba, dari mana mereka menghimpun dana, tidak berafiliasi dengan politik tertentu dll. (hlm. 5-7)

Buku yang berjudul " Membongkar Gerakan Sesat NII Di Balik Pesantren Mewah Al Zaytun" ini terdiri atas beberapa bab yang mengupas sejarah, siapa pemimpinya, rekam jejak media massa, serta bukti-bukti ajarannya. Tidak hanya itu buku ini juga menyertakan kesaksian dari para korban yang pernah terlibat dalam gerakan NII maupun hanya sebagai saksi di antaranya Al Chaidar eks Ikhwanul Muslimun, Imam Shalahuddin eks Mas'ul Musa pejabat setingkat lurah di Utan Kayu Selatan, hingga kesaksian KH. Abdullah Syukri Zarkasyi (Pim. Pondok Gontor) dan KH. Miftah Farid (Ketua MUI Jabar). Buku ini juga diberi pengantar oleh Prof. Ir A.M. Saefuddin, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, MA. (Mantan Sekum MUI Pusat) dan Pimpinan Pusat Persatuan Umat Islam (PERSIS).

Jika membaca keseluruhan buku ini kita akan diajak menyelami fakta demi fakta bahwa di balik pendirian Ma'had Al Zaytun yang megah itu terdapat ajaran sesat NII KW IX. Pengakuan tersebut berhasil dikumpulkan melalui para narasumber baik korban ataupun dari media pemberitaan bahkan dari majalah yang mereka terbitkan.

Beberapa kejanggalan mengenai NII dan Al Zaytun atau dalam buku ini menilai sebagai kesesatan banyak kita temuai di antaranya: 1) terdapat unsur penipuan terkait pembelian tanah 58 warga Desa Mekarjaya yang ada di Blok Sandrem yang rata-rata dibeli dengan harga Rp. 500/m dan mereka hanya menerima pembayaran sebesar Rp. 300/m. (hlm. 8).

2) Beberapa warga yang tiba-tiba menarik diri dari lingkungan komunitas asalnya. Serta paham yang aneh misalnya, makmum masbuq tidak perlu menambah jumlah rakaat yang ketinggalan atas dasar sudah ditanggung oleh imam. (hlm 11). 3) Pemimpin Al Zaytun AS Panji Gumilang sering berganti-ganti nama di antaranya, Prawoto, Abu Toto, Abdus Salam Rasyidi, Syamsul, Abu Ma'ariq dll. (hlm. 13). 4) Memprioritaskan tilawah (baca qur'an) daripada shalat, rujukan kitabnya Silabus Mabadi'uts Tsalasah karya Abi Karim. (hlm. 22). 5) Kambing qurban tidak disembelih tapi digantikan dengan uang sebesar 150 ribu per ekor dana tersebut dihimpun lalu tidak dibelikan kambing melainkan kendaraan.

Sebenarnya masih banyak penyelewengan lain dari apa yang ditulis dalam buku ini mengenai NII KW IX dan Al Zaytun. Salah satu yang perlu diperhatikan lebih jauh bahwa kejanggalan tersebut tidak dijawab dengan transparan akibatnya orang bertanya secara lebih jauh. Bahkan mengenai pendanaan mereka selalu menjawab "ini semua dari Allah". (hlm. 36) KH. Abdullah Syukri Zarkasyi pun dibuat bingung karena ketidaktransparanan tersebut. Yang lebih berani yaitu penuturan KH. Miftah Farid selaku ketua MUI saat itu bahwa AS Panji Gumilang membenarkan bahwa dirinya terlibat dalam gerakan NII dan ia sebagai Komandan I kelompok pecahan DI/TII yang melakukan penggalangan dana lewat program infaq wajib tapi tanpa paksaan. (hlm. 37).

Ilusi kebangkitan daulah Islam dengan kedok penipuan, indoktrinasi hingga takfiri juga dicatat dalam buku ini melalui para korbannya yang keluar dan tobat. Hingga akhirnya semua kejanggalan itu terkuak saat ini kita hanya bisa belajar dari sejarah tentang bagaimana seharusnya bersikap jika hal itu berada di hadapan kita.

Buku yang berdasar investigasi tersebut sejatinya mengajak kepada kita untuk berhati-hati dengan siapapun termasuk dengan dalih surga sekalipun. Kaum muslimin khususnya harus semakin kritis dalam menyikapi segala macam keanehan yang ada di masyarakat utamanya yang berkedok agama. Lewat buku ini kita diajak bertabayyun secara mendalam agar sejarah masa lalu tidak terulang kembali. Terlepas banyak orang menganggap bahwa upaya memojokkan NII adalah fitnah toh pada faktanya masyarakat sudah tau mana yang benar dan salah. Saat ini perlulah kita introspeksi diri bagaimana pertanggungjawaban nanti di akhirat kelak di hadapan Allah sang maha pengadil.


Judul : Membongkar Gerakan Sesat NII Di Balik Pesantren Mewah Al Zaytun

Penulis : Umar Abduh

Investigasi : Tim LPPI

Cetakan : Ketiga, April 2002/Shafar 1423 H

Penerbit : Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta

the woks institute l rumah peradaban 26/6/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...