Langsung ke konten utama

KH. Ihya Ulumiddin: Pendidikan Dzikir dan Pikir




Woks

Kita tahu pendidikan saat ini tak lain merupakan warisan Barat salah satu cirinya yaitu adanya sekuleritas pemisahan antara ilmu umum dan agama. Sedangkan dalam Islam sangat jelas perbedaanya bahwa dua keilmuan itu justru saling menyempurnakan, begitu pemaparan KH. Ihya Ulumiddin atau yang akrab disapa Abi Ihya'.

Abi Ihya' yang juga sebagai pengasuh Ma'had Nurul Haromain Pujon Malang tersebut menjelaskan bahwa pendidikan dalam Islam itu output nya adalah kebermanfaatan تكون الرجال. Lantas keinginan bermanfaat tersebut berawal dari wahyu pertama dalam al qur'an surah al Alaq yaitu اقرا باسمربك الذي خلق. Maka Islam mengikuti dawuh Rasulullah ﷺ "al ilmu tsalasatun wa mas siwaa dzalika fahuwa fadhlin" bahwa tidak ada pemisahan antara ilmu umum dan agama Islam. Justru kedua ilmu itu saling menyempurnakan.

Maka dari itu jika sekolah atau kuliah bukan soal nama besar kampus atau apa jurusanya akan tetapi berlomba-lomba untuk bermanfaat sebelum atau sesudah lulus. Bisa dibayangkan jika setiap orang dapat bermanfaat bagi sesamanya maka tidak ada istilah untuk saling menjatuhkan satu sama lain atau menghalalkan segala macam cara. Maka perlulah kita tanamkan mindset untuk saling bermanfaat satu sama lain وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ (pen).

Abi Ihya' juga menjelaskan bahwa pendidikan Islam sebenarnya berakar pada اقرا yang dapat diartikan hanya proses berpikir atau IQ sedangkan selanjutnya harus menuju kepada باسمربك atau SQ (Baca: ESQ Ari Ginanjar) yaitu menuju Allah SWT. Dari dua hal itulah kita dapat memahami bahwa selama ini pendidikan kita masih hanya ditahap berpikir. Seharusnya setelah berpikir kita juga sudah menuju kepada dzikir, artinya harus ada kolaborasi keduanya. Sehingga setinggi apapun ilmu seseorang maka orang itu tak akan menggunakan ilmunya untuk mengabdi pada keburukan.

Mari kita cermati lebih dalam mengapa pesantren yang santrinya ribuan tapi manut (menurut) dengan kiainya sedangkan di dunia kampus mahasiswa yang berbeda, suka debat dianggap kritis. Di sinilah jika diamati pendidikan akan tercerabut dari etika moral. Pendidikan demikian hanya mencetak manusia pemikir, lebih jauh mereka akan sombong oleh keilmuanya. Manusia berpikir tanpa adanya dzikir hanya akan "dongak" ke atas alias kehilangan ketawadhuan. Inilah perbedaan pesantren dan kampus yang sangat mencolok.

Seharusnya orang sudah mulai berpikir IQ dan memperbaiki SQ dengan memadukan antara dzikir dan pikir. Jika dua manhaj itu dipahami maka output pendidikan adalah EQ yang terkontrol. Abi Ihya' juga menegaskan jika dzikir pikir seseorang telah beres maka dipastikan jika menjadi guru, ustadz, dosen atau kiai mereka menjadi tawadhu-mutawadhi-khidmah. Dewasa ini banyak para ahli dalam keilmuan apapun tapi belum bisa menjadi mutawadhi lebih dari itu berkhidmah.

Apakah masih ada dosen atau kiai yang misalnya disuruh nyapu oleh gurunya mau? Apakah ada kiai atau dosen yang ikhlas berkhidmah? Jika tidak mau cuma karena gengsi keilmuan, gelar atau nama baik berarti di sinilah refleksi buat kita semua bahwa pendidikan yang cocok buat umat Islam adalah: pesantren.

the woks Institute l rumah peradaban 15/6/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...