Langsung ke konten utama

Tentang Wisuda dan Kisah Setelahnya




Woks

Sejak tanggal 28-30 Juni 2021 IAIN Tulungagung (sekarang UIN SATU) melaksanakan wisuda yang ke-28. Jika ada wisuda walaupun saat ini dilaksanakan dengan drive thru saya jadi ingat ketika dulu saya pun merasakan hal yang sama. Yaitu perasaan yang campur aduk antara bahagia, tidak percaya dan bahkan datar-datar saja.

Perasaan itu muncul seiring pikiran yang selalu flashback masa lalu atau lebih tepatnya tentang latar belakang semasa di kampung halaman. Tidak terasa saat ini saya sudah diwisuda sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja. Dalam acara wisuda itu tentu saya bahagia karena orang tua bisa hadir dalam acara sakral itu. Selanjutnya yang masih sangat diingat yaitu ketika banyak teman yang memberi ucapan selamat, memberi hadiah-hadiah dan yang terpenting adalah do'a.

Dari sanalah saya berusaha untuk membalas segala macam ucapan dari setiap kawan. Saya membuka kontak WA yang ada sekitar seratus lebih dan di sana saya berusaha membalas doa-doa mereka satu persatu. Bagi saya membalas doa mereka adalah penting bahkan sejak dari sidang skripsi. Kadang saya berpikir apa gunanya ucapan mereka yang hanya bersifat lips service. Setelah lama berpikir saya berkesimpulan bahwa membalas doa mereka adalah penting karena tanpa doa mereka kita bukanlah siapa-siapa.

Mereka teman-teman telah menjadi peran dalam menguatkan kehidupan kita. Lantas saya pun berpikir untuk sekedar berterima kasih atas segala hal baik yang mereka berikan. Demikianlah pemikiran dangkal saya bahwa sampai detik ini saya belum bisa menjadi teman yang diinginkan sesuai dengan harapan mereka. Lalu saya pun berpesan bagi diri sendiri jika nanti saya tidak menjadi apa-apa tolonglah teman-teman tetap berteman jangan sampai kecewa karena saya tidak sesuai dengan harapan teman-teman.

Anggapan bahwa katanya orang yang dianggap pintar akan selalu cemerlang karier nya sebenarnya tidak begitu tepat karena apapun profesinya semua diukur berdasarkan mentalitas, sikap dan etos kerja personal. Gelar, fisik, nasab, atau status apapun itu hanya penunjang sebagian kecil selebihnya adalah sikap kita sendiri. Rerata orang mudah menghakimi jika sudah memiliki gelar selepas diwisuda kehidupan akan lebih mudah. Nyatanya tidak demikian. Kita masih terus memperjuangkan apa yang diinginkan. Sebab perjuangan masih terus dilewati oleh karenanya kita perlu optimis dalam menghadapi kehidupan.

Kehidupan pasca S-1 sebenarnya belum cukup untuk bermasyarakat artinya kita masih terus diperintah belajar tanpa henti. Bukan berarti menumpuk gelar akademik melainkan terus merasa haus akan keilmuan sekalipun telah berada di masyarakat. Kisah setelah wisuda memang bervariatif setiap orang punya versi tersendiri. Akan tetapi satu hal yang perlu kita pegang yaitu harus adanya pembeda antara yang tidak kuliah dengan yang pernah di bangku perkuliahan. Dalam hal etika moral, sikap dan ilmu ini yang seharusnya lebih menonjol. Jika dalam hal itu sama saja maka alamat tak ada bedanya.

Jika selepas wisuda seseorang mengalami kebingungan hal itu sebuah fase yang wajar karena ia adalah transisi seseorang akan menghadapi lingkungan yang baru. Jika dulu saat remaja seseorang berhadapan dengan proses pencarian jati diri maka ketika beranjak dewasa ia akan menghadapi quarter life crisis. Jadi jika kita bingung sikapi saja dengan positif maka seiring proses dan berjalannya waktu pastilah akan ada jalan. Terpenting adalah sikap dan karakter sudah terbangun di sanalah modal kita untuk tampil percaya diri.

the woks institute l rumah peradaban 1/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...