Langsung ke konten utama

KH. Imam Mawardi Ridwan: Era Medsos Saya Titip Anak-anak




Woks

Tidak terasa waktu cepat berlalu sekolah baru saja masuk kini sudah wisuda padahal kita sudah lama tidak masuk secara tatap muka begitulah sebuah keluh kesah KH. Imam Mawardi Ridwan Pengasuh PP. Al Azhaar Tulungagung. Keluh kesah beliau mungkin dirasakan juga oleh hampir semua orang tua. Pandemi memang banyak merubah segala macam tatanan termasuk sekolah dan pembelajarannya. Hingga akhirnya kita tahu banyak yang ironis terjadi selama masa pandemi ini. Sudah berapa banyak anak yang terbengkalai waktunya karena dirumahkan atau karena pembelajaran hanya dilakukan secara daring.

Era medsos memang sangat mengerikan apalagi di saat pandemi seperti ini anak-anak justru lebih akrab dengan gadget. Maka dari fenomena ini perlulah kita untuk terus mencari cara agar anak tidak terlalu jauh dalam pergaulanya. Dari itulah perlu kita perhatikan lebih jauh dan bisa dijadikan sebagai sebuah pesan ke depanya yaitu pertama saat anak sudah lulus terutama mereka yang memiliki hafalan qur'an harus tetap bersambung. Guru dan murid memang harus terus bersambung dan jangan sampai terputus. Mengapa hal itu penting karena di era medsos ini selain menjadi tantangan juga bisa menjadi peluang. Bagaimana anak masih bisa menyibukan waktunya untuk terus setoran qur'an dan seorang guru masih bisa terus memantau.

Sambung guru murid tersebut bukan hanya soal hafalan tapi juga sebagai sambung doa. Caranya yaitu anak diajak untuk bersilaturahmi maksimal satu tahun sekali ketika idul fitri atau paling minimal 3 bulan sekali untuk bertemu gurunya. Hal itu dilakukan agar ilmunya barokah dan pastinya menanamkan akhlak yang mulia.

Kedua, anak memang perlu dipersiapkan sejak dini agar mereka paham dengan etika. Jangan sampai etika yang sudah ditanamkan ketika sekolah justru hilang bersama dengan lulusnya sekolah. Orang tua juga harus open minded terhadap perkembangan anak terutama di era medsos ini agar mereka tidak terjerumus dengan sesuatu yang tidak diinginkan.

Ketiga, perhatikan waktu magrib karena di waktu ini justru menjadi waktu yang vital bagi perkembangan pendidikan agama anak muslim. Jangan sampai di waktu magrib hingga isya anak-anak justru dialihkan kepada gadget dan televisi. Inilah tantangan orang tua untuk lebih protektif dalam pendidikan agama anak.

Keempat, kita tidak hanya guru tapi juga melibatkan orang tua agar anak cinta alquran, shalat tepat waktu, birul walidain dan tetap berkarya. Hal itu menjadi kunci sinergis agar anak terus mengingat pesan tersebut sekalipun sudah lulus. Ingat bahwa sekolah hanya salah satu tangga pendidikan sedangkan mencari ilmu tidak terbatas dan bisa di manapun kapanpun.

Kelima, tetap jadikan rasulullah sebagai teladan umat sepanjang masa. Karena hanya akhlak dan budi pekerti beliaulah yang dapat menjadi contoh. Di era medsos meniru artis tentu hal yang mudah maka dari itu agar mereka tidak keliru meniru contohlah rasulullah manusia yang paripurna.

Jika kita memperhatikan hal tersebut insyaallah di era medsos ini anak-anak kita akan terbentengi dan menjadi anak yang berkarakter. Demikianlah kiranya pesan KH. Imam Mawardi Ridwan untuk kita para orang tua dan guru bahwa pendidikan ke depan akan banyak menuai tantangan. Semoga kita terus diberi kekuatan oleh Allah swt untuk terus berjuang di jalan Allah swt demi membentuk generasi rabbani.

the woks Institute l rumah peradaban 6/6/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...