Langsung ke konten utama

Semua Karena Rasa Nyaman




Woks

Dalam sebuah pengajian yang dihelat oleh Bayt Al Qur'an Jakarta, Gus Baha menjelaskan di depan santri-santri bahwa ada cara yang dapat kita lakukan ketika menghadapi ahli maksiat.

Gus Baha lalu menyodorkan pendapat dari Hujjatul Islam al Imam Ghazali yang juga menjadi manhaj Mbah Maemun Zubair yaitu ada 3 cara. Cara tersebut terdapat pada bab cara empati dan kasih sayang (adabu ulfah wa ukhuwah). Pertama, reaktif, menegurnya alias mengambil sikap. Kedua, orang yang tidak mengambil sikap dan ketiga, mendiamkanya alias melihat dengan pandangan empati.

Menurut Gus Baha ternyata sikap kita ketika menghadapi orang yang bermaksiat sudah dicatat dalam Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali sehingga kita secara tidak sadar memiliki dasar secara kebetulan. Sikap pertama ketika melihat orang maksiat adalah keras tentu ini umum, siapa juga yang tahan untuk mendiamkan lebih lama kemungkaran berkembang. Sepertinya sikap dasar manusia adalah tak tahan dengan sesuatu yang menyimpang maka tanpa disadari bawaanya ingin merubah.

Akan tetapi kata Gus Baha reaktif kita terhadap ahlu maksiat jangan sampai salah kaprah alias membabi buta. Beliau mencontohkan jika ada sanak keluarga kita yang terkena kasus miras lantas kita menentangnya dengan keras dan menimbulkan kejatahan baru misalnya orang tua dan kerabatnya dibunuh oleh ahli maksiat itu justru malah keliru. Artinya berniat menghalau maksiat justru melahirkan madharat yang baru cuma karena faktor penanganannya yang tidak tepat.

Kedua, orang yang cenderung tidak mengambil sikap alias mendiamkan tentu sudah ada contohnya sejak dulu, jika di Indonesia mungkin ini ciri masyarakat Jawa. Orang Jawa biasanya "wegah melu-melu" tidak ingin ikut-ikutan. Ketiga, memandang dengan padangan rahmah ini justru tipologi yang diterapkan oleh wali songo dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Para wali sangat paham bahwa orang yang bermaksiat justru sedang dalam proses entah kapan mereka taubat yang jelas tinggal ditunggu saja karena hidayah Allah turun bisa kapan saja. Jangan sampai kita langsung bertindak menghakimi. Maka dari itu hanya orang-orang yang memiliki pandangan rahmah dan empati terus berharap mereka bisa dibina dan bertaubat. Di fase ketiga inilah perlu orang-orang yang telaten dalam membimbing orang yang tengah maksiat. Karena jika kita langsung bertindak seperti eksekutor maka jangan salah jika ahli maksiat itu justru aka menyerang. Bukanya taubat justru malah membuat sesuatu yang gawat.

Bukankah Islam adalah agama yang luwes artinya memiliki daya tawar. Contoh sederhananya yaitu ketika ada orang mualaf maka jangan langsung disuruh untuk shalat full dengan yang sunnah, harus puasa ini dan itu, harus qiyamul lail, harus menghatamkan qur'an, harus bersedekah, harus haji dll jika demikian orang tidak jadi Islam yang ada malah kabur karena menganggap bahwa Islam itu agama yang memberatkan.

Tipe pendekatan terakhir inilah kiranya menjadi topik utama pembahasan sekaligus refleksi bahwa ibadah harus menyenangkan dan memang bukan problem. Orang harus nyaman dengan sebuah kebaikan. Maka jangan sampai kebaikan terselip paksaan yang membuat orang tidak nyaman. Al insan abdul ihsan bahwa seseorang itu budaknya kebaikan. Dari kebaikan yang membuat rasa nyamanlah orang-orang akan mudah untuk menerima masukan.

Bisa dibayangkan contoh sederhana jika ada seorang pelayan dengan berkerudung syar'i tapi judes dan jutek lalu pelayan satunya orang biasa urakan bahkan tidak berkerudung seperti anak jalanan tapi sopan santun, unggah-ungguh pasti pelanggan akan memilih kepada orang yang sopan tersebut. Maka dari itu kebaikan hati indikator utamanya adalah sikap bukan dari busananya. Dari itulah perlulah kita senantiasa memperbaiki diri dengan menyesuaikan antara laku dan ucapan. Kata Rumi seharusnya yang paling berhak atas sebuah adab adalah umat Islam. Akan tetapi saat ini umat Islam malah justru seperti kehilangan jimat utamanya yaitu adab. Perlulah kita berpikir ulang bagaimana bisa menyelami setiap orang dengan karakter yang berbeda agar mereka nyaman dengan agamanya, ritualnya, dan Allah sebagai Tuhanya.

the woks Institute l rumah peradaban 13/6/21



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...