Langsung ke konten utama

Mengapa Orang Suka Nonton Film Horor




Woks

Kemarin saya menjajaki diri ke bioskop untuk pertama kalinya. Di sana saya seperti orang udik dari desa lalu masuk ke kota, benar-benar terasa asing. Setelah itu saya duduk di depan layar besar dan ternyata sangat nyata itu adalah bioskop. Kebetulan suasana menghitam di malam Jum'at pas untuk film kali ini yaitu genre horor.

Pada momen nonton film itu tak henti-hentinya saya melafalkan tasbih di dalam hati. Hal itu saya lakukan bukan karena takut nonton film hantu akan tetapi lebih tepatnya saya hanya bertanya apakah yang saya lakukan ini penuh dosa atau justru mubah saja hukumnya. Saya betul-betul tidak bisa berbuat apa-apa kecuali meninggalkan segudang tanya bernada akademik.

Ketika film diputar saya langsung menuliskan beragam tanya tersebut hingga akhirnya menghasilkan tulisan ini. Pertama, ketika film dimulai backsound pembuka yaitu gending Jawa. Intinya rasa kejawaan memang selalu kental dan jarang tertinggal dalam sebuah film genre horor. Entah sejak kapan, Jawa selalu diidentikan dengan hal-hal berbau horor, mistik, magis, klenik, perdukunan, dan misterius. Apakah di suku lain tidak meninggalkan jejak yang sama? atau ini hanya persoalan politik dan etnosentris belaka.

Jawa memang selalu mendapat stigma bahkan itu sudah sejak lama. Berkaca pada Jawa memang selalu ada hal wingit yang sulit terpecahkan. Bisa jadi karena Jawa tidak bisa dipisahkan dari mitos dan legenda yang berkembang sejak lama. Kita akan sangat familiar dengan sosok Syeikh Subakir, Mbah Semar, Sabdo Palon Nayogenggong, Joyoboyo, Nyai Roro Kidul, hingga istilah Danyang yang mendiami suatu tempat. Bersamaan dengan itu tentu sejak lama Jawa memang gudangnya lelembut atau mahluk halus. Oleh karenanya Jawa menjadi isu sekaligus ladang seksi untuk terus digarap sebagai pangsa pasar khususnya bagi penikmat film horor.

Jawa dan hal mistisnya juga tidak hanya berkah bagi para sineas film melainkan juga bagi para peneliti. Sekelas antropolog Clifford Geertz pernah meneliti pedesaan Jawa sekitar tahun 1950an tentang mahluk halus yang pada saat itu diistilahkan dengan memedi. Istilah memedi itu memang kaya di Jawa misalnya Banaspati, Kalongwewe, Wewegombel, Pocong, Kuntilanak, Sundel bolong, Tuyul, Babi ngepet, Kolor ijo, dan lainya. Maka pantas saja jika Jawa menjadi objek keberlimpahan berkaitan dengan mahluk halus tersebut.

Tempat-tempat dari mulai sendang, bantaran sungai, gunung Merapi, Tidar, Kawi, pantai selatan, alas Roban, alas Purwo dan lainya menambah deretan sejarah mistis yang terus berkembang hingga kini. Untuk wilayah kota munculnya hal mistis rerata didominasi oleh rumah sakit tua, jembatan, hotel, bangunan Belanda Jepang, penjara, dan beberapa pabrik serta gudang. Tidak hanya itu konstruk media dalam hal ini film telah berhasil menambah Jawa sebagai tempat komersialisasi roh halus.

Menurut Purnawan Basundoro ada pergeseran hantu kota dan desa sejak listrik masuk. Bahkan saat ini seperti ada klasifikasi hantu berdasarkan letak geografisnya, misalnya hantu di kota nampak begitu elitis sedangkan di desa terasa miskin dan tragis. Desa dipahami sebagai tempat angker ketika dulu suasana di sana gelap, akan tetapi ketika listrik masuk desa menjadi tak ada bedanya dengan kota. Jika hantu sering mendiami pohon besar atau batu justru saat ini dua entitas itu bisa sangat mungkin diambil alih untuk kepentingan keuntungan misalnya pelengkap objek wisata.

Jika mahluk halus atau segala yang horor hanya persoalan gelap terang berarti hantu adalah pikiran manusia tentang gelap. Tidak hanya itu seharusnya ada hal lain seperti pantangan yang justru berlandaskan dengan etika serta narasi Islamisme yang ditabur. Hal ini sekaligus menjawab mengapa orang suka menonton film horor? Jika berkaca pada film KKN di Desa Penari menurut kritikus film Dwiki Aprinaldi mengapa bisa se-booming itu tentu. Pertama rasa penasaran sudah dibangun sejak lama melalui akun Twitter dengan merahasiakan tokoh dan tempat, ketidaktahuan orang tentang desa yang selalu dinarasikan seram, ngeri yang sudah masuk dalam ingatan kolektif, serta soal kemasan. Konstruk pembuat film, serta peran media komunikasi telah digarap apik sejak lama itulah yang akhirnya berhasil menggaet penontonnya. Oleh karenanya sang sutradara paham bahwa keberhasilan film KKN di Desa Penari adalah perpaduan antara orang kota dan kerinduan akan masa lalu yang menjadi suguhan utama.

Pada faktanya kita kembali mempertanyakan apa alasan orang senang dengan film horor? padahal penonton rela membayar hanya demi sensasi mengerikan, mengagetkan, menakuti, efek cahaya, efek kejut, yang kecil jadi besar dan sebaliknya yang rasional jadi irasional, malam menjadi tampak panjang serta humor untuk penyeimbang. Dalam film Pengabdi Setan 2 Communion, Joko Anwar sebagai sutradara memang paling pintar dalam membuat efek kejut tersebut. Sehingga ia berhasil membuat penontonnya penasaran dengan film yang mengangkat kisah Petrus tahun 1983-1985 itu, termasuk tragedi lift berdarah di rusun Jakarta.

Nonton di hp, atau di YouTube dengan bioskop tentu membawa suasana yang berbeda. Jika di bioskop tentu ada adrenalin tersendiri bagi penontonnya, sekalipun ditonton oleh banyak orang rasa takut dan rasa dakdikduk bercampur aduk di sana. Mengapa juga orang lebih tertarik dengan film horor daripada film action, atau film inspiratif. Mungkin saja ini persoalan selera termasuk soal kepuasan batin. Persoalan yang sejak lama memang tidak perlu membutuhkan alasan. Karena alasannya sangat jelas yaitu selera dan rasa penasaran.

Film horor yang sering diputar pada malam jumat apakah benar ikut membentuk keberanian penontonnya. Bukankah hal itu hanya rekayasa belaka. Bukankah dengan nonton film horor orang akan ganggiapeun dalam istilah Sunda yang berarti terbayang-bayang bahkan hingga tidak bisa tidur. Menonton film horor juga dapat mempengaruhi pola pikir dan kehidupan padahal isinya tak lebih dari sekadar jeritan. Pada akhirnya film memang mempengaruhi pola pikir lebih jauh soal bangsa. Karena film mau tidak mau membawa salah satu virus dari 4F yaitu fun, fashion, food dan film. Orang tidak takut nonton film horor sekaligus mereka tidak takut mati. Padahal mayoritas adegan film horor bercerita tentang barzakh dan hal ghaib dalam istilah agama. Tapi demikianlah faktanya, masyarakat kita memang lebih mudah terhanyut terbawa arus daripada menyulam sikap kritis dalam setiap hal yang dikonsumsi, termasuk nonton film horor.[]

the woks institute l rumah peradaban 7/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...